Latest News

Friday, January 4, 2019

Mempelajari tentang zakat kaitannya dengan surat at-taubah


ZAKAT
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir II (Ahkami)
Dosen Pengampu : Moh. Dhofir, M.Ag




 Oleh :
1.      Siti Alfiah                         : 111386
2.      Aisyah                               : 111397
3.      Nailis Sa’adah                   : 111413
4.      M. Ali Muslikhin               : 111418
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2012
A.           Pendahuluan
Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga), atau saat hasil pertanian telah tiba.
Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaan kaum dhu’afa, fakir miskin, atau melipur orang-orang yang sengsara, dan membantu orangorang yang sangat membutuhkan pertolongan. Di samping itu pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak timbul ketegangan atau gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering terjadi di antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi: vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai kewajiban kepada sesama manusia.

B.            Q.S. At-Taubah (9) ayat 60
 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah/9: 60)

C.           Mufrodat
الّصَّدَقَاتُ   : zakat wajibah berlaku dalam bentuk uang tunai dan binatang ternak, maupun tanam-tanaman dan perdagangan atau perniagaan. Hanya saja, seperti akan diuraikan nanti dalam pembahasan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mengenai apa yang dimaksud dengan sedekah pada ayat ini, apakah sedekah wajib atau termasuk di dalamnya sedekah tathawwu’.[1]
 الْفُقَرَاءُ      : orang yang berpenghasilan tidak tetap lagi kecil (tidak mencukupi) penghasilannya.
اْلْمَسَاكِيْنُ : orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak   mencukupi kebutuhan hidupnya.
الْعَامِلِيْنَ        : orang atau panitia/ badan yang mengurusi penerimaan dan penyaluran zakat/ sedekah, terutama yang diangkat oleh ulil amri (pemerintah)[2]
الْمُؤَلَّفَةَ قُلُوْبُهُمْ : orang-orang yang diharapkan hatinya condong (melirik) kepada Islam atau berketetapan dalam agama Islam yang dianutnya.[3]
الِّرِّقَابُ : pemerdekaan budak.[4]
الْغَارِمِيْنَ: orang yang berhutang (debitur) yang tidak mampu membayar hutangnya.[5]
سَبِيْيلِ اللهِ : jalan/ sarana yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah dan pahala dari-Nya; dan yang dimaksud dengannya adalah setiap orang yang melakukan aktivitas (kegiatan) yang masuk dalam kategori mentaati Allah seperti untuk membiayai peperangan, haji, dan lain sebagainya.[6]
اِبْنُ الَّسبِيْلِ: musafir yang kekurangan/ kehabisan bekal di perjalanan yang relatif cukup jauh, yang mengalami kesulitan meskipun di kampung halamannya dia tergolong orang berada.            [7]
فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ : yakni Allah telah menetapkan ketentuan yang demikian itu sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.[8]


D.           Munasabah
Munasabah QS. at-Taubah ayat 60 dengan ayat sebelumnya QS. at-Taubah ayat 59 :

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. at-Taubah/9: 59)

Ayat sebelumnya menggambarkan bahwa ada yang keberatan tentang pembagian Nabi SAW sambil berkata bahwa beliau tidak adil karena membagikan kepada para penggembala dan lain-lain. Nah, ayat ini membenarkan sikap Nabi itu, sambil menjelaskan bahwa sesungguhnya zakat-zakat, bukan untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah dibagikan untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membaginya, dan diberikan juga kepada, para mu’allaf, yakni orang-orang yang dibujuk hatinya serta untuk memerdekakan para hamba sahaya, dan orang-orang yang berhutang bukan dalam kedurhakaan Allah, dan disalurkan juga pada sabilillah dan orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui siapa yang wajar menerima dan Dia Maha Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada.[9]

E.            Pembahasan
Ø  Masalah Penafsiran Kata Al-Shadaqat
Kata innama”-adat hashr-pada ayat di atas menunjukkan bahwasanya sedekah itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan penerima zakat (mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka. Hanya saja, dimasa awal-awal Islam, kata sedekah itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunah sekaligus. Karenanya, mudah dimengerti jika dikalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat dalam menafsirkan kata al-shadaqat” pada ayat di atas. Bahwa yang dimaksud didalamnya adalah ”al-zakat al-wajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma’) mereka. Namun di balik itu mereka berlainan persepsi ketika dihadapkan pada pertanyaan: adakah dalam ayat tersebut termasuk sedekah mandubah (sunah)?
   Sebagian mereka memasukkan sedekah sunah dalam ayat tersebut: sementara sebagian yang lain tidak memasukannya. Orang yang memasukkan sedekah mandubah ke dalam makna ayat tersebut, melihat bahwa lafal “al-shadaqat” disini bersifat umum, tidak dibatasi hanya sedekah wajib, yaitu zakat. Karenanya, memasukkan sedekah kedalamnya merupakan suatu yang sangat wajar. Bahkan, demikian ujar mereka lebih lanjut, pengertian yang langsung diperoleh dari ayat ini menunjukkan kepada sedekah-sedekah mandubah.
   Adapun mereka yang berpendirian bahwa yang dimaksud dengan ’al-shadaqat’’ di sini adalah zakat-zakat wajibah, mereka mendalilkan argumentasinya pada alasan-alasan berikut:
1.    Alif-lam/al (ال) yang terdapat pada kata ‘’al-shadaqat’’ itu adalah ‘’al li al-‘ahd al-dzikri’’, yang di maksudnya adalah sedekah-sedekah wajib (al-shadaqat al-wajibah) yang Allah tunjukkan pada ayat yang sebelumnya, yakni ayat ‘’ waminhum ma-yamalizuka fi al-shadaqat’’ ( al-Taubat/9:58). Sedekah-sedekah yang menyebabkan kaum munafikin mencela Rasulullah SAW. Karena kekecewaan mereka atas kebijaksanaan alokasi zakat yang semula diduga hanya akan mementingkan keluarga dekat mereka, tetapi ternyata tidak demikian karena didasarkan atas aspek keadilan pemerataan, adalah semuanya sedekah-sedekah wajibah. Di sinilah letak relevansi ayat “innama al-shadaqatu li al-fuqara’ wa al-masakin...” dan seterusnya itu diturunkan, guna memberitahukan kepada mereka yang mencela Rasulullah SAW, bahwa sedekah-sedekah wajibah itu mustahiqnya telah ditetapkan sedemikan rupa mensyariatkan zakat itu sendiri, bukan atas kebijakan Rasul yang didasarkan atas selera kemanusiannya.
2.    Sedekah-sedekah yang mandubah, pentasarrufan (penyalurannya) boleh-boleh saja diberikan kepada selain delapan ashnaf di atas, menerut kesepakatan kaum Muslimin, seperti membangun masjid, pengurusan jenazah, pemberian beasiswa, dan lain-lain kepentingan umum. Kalau sedekah-sedekah mandubah dimasukkan kedalam “al-shadaqat” pada ayat di atas, maka sama dengan al-zakawat al-wajibah, tentu penggunaan sedekah-sedekah mandubah juga tidak boleh disalurkan kepada selain delapan ashnaf yang akan disebutkan nanti.
3.    Allah SWT menjadikan atau menempatkan ‘amilin (panitia, administrator atau apapun sebutannya yang mengelola zakat) sebagai salah satu kelompok yang berhak mendapatkan bagian (mustahiq) zakat wajibah,  sesuatu yang tidak pernah dikenal keberadaannya dalam rangka pembagian sedekah-sedekah mandubah. Sekiranya sedekah-sedekah mandubah juga termasuk dalam ayat di atas, maka adalah suatu kewajiban bagi imam (kepala negara) atau pejabat lain yang berwenang untuk membentuk ’amilin dan menentukan bagiannya.
4.    Allah SWT menetapkan “al-shadaqat” di sini dengan menggunakan redaksi “lam al-tamlik” bagi kelompok delapan yang berhak menerimanya; dan karenanya perlu diingat, bahwa sedekah-sedekah yang kepemilikannya diberikan kepada mereka itu hanyalah zakat-zakat wajibah.[10]
Bebarengan dengan itu pula ulama juga berlainan pendirian dalam pembagian zakat itu harus diratakan kesemua delapan kelompok di atas; atau boleh diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu saja dari delapan ashnaf penerima zakat di atas. Menurut sebagian mereka-di antaranya al-Syafi’i- penyerahan zakat harus diberikan kepada semua kelompok yang ada, tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian kelompok saja. Tetapi menurut pendapat kedua, di antaranya dipegang oleh Abu Hanifah, Malik dan lain-lain, boleh-boleh saja pembagian itu diprioritaskan kepada kelompok-kelompok tertentu yang lebih membutuhkan, sesuai dengan kebijakan ulil amri yang berhak menilai kelompok mana saja yang lebih berhak.[11]
   Kelompok pertama beralasan dengan “adat hashr” yang digunakan dalam ayat di atas, yaitu menggunakan redaksi “innama”. Juga mendasarkan diri pada hadits yang diriwayatkan dari Ziyad bin al-Harts yang mengisahkan bahwa suatu ketika dia berkunjung kepada Rasulullah SAW, kemudian ada seseorang yang juga menjumpai Rasulullah SAW, seraya orang tersebut meminta sedekah dari Nabi. Lalu Nabimenjawab, “Sesungguhnya Allah tidak meridhai ketentuan Nabi dan ketentuan siapa pun tentang sedekah ini, karena Allah telah menetapkan delapan ashnaf penerima sedekah. Jika engkau tergolong ke dalam salah satu kelompok dari delapan kelompok itu, pasti aku akan memberikannya.”
   Adapun pendapat kedua, dalam menanggapi alasan pendukung pendapat pertama menyatakan bahwa pembatasan (al-qashr) pada ayat di atas hanya menerangkan cara-cara pendistribusian zakat dan kepada siapa saja zakat itu diberikan; tidak menunjukkan kepada keharusan adanya pemerataan pembagian. Adapun hadits Ziad bin al-Harts yang dipegangi pendukung pendapat pertama dinyatakan dha’if (lemah) oleh pendukung pendapat kedua.
Yang dimaksud dengan sedekah pada ayat di atas, demikian kata mereka, adalah sedekah dalam artian yang umum, apakah itu sedekah wajib maupun sedekah sunnah. Dan ini, masih kata mereka, sejalan denagn hadits shahih yang menyatakan :
أمِرْتُ اَنْ اَعُدَّ صَدَقَةً مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ وَاَرُدَّهَا اِلَى فُقَرَائِهِمْ
Artinya : Aku diperintah (Allah) supaya memungut sedekah dari kalangan orang-orang kaya untuk kemudian aku serahkan keapad orang-orang fakir dari kalangan mereka.
Imam Malik, pendukung berat pendapat kedua di atas bahkan menyatakan bahwa memasukkan sedekah umum ke dalam pengertian ayat 60 surat at-Taubah (9) adalah merupakan suatu kesepakatan (ijma’). Yang dimaksud dengan ijma’ oleh Malik, demikian kata ‘Abd al-Barr adalah ijma’ sahabat, karena Malik tidak melihat ada perselisihan pendapat mereka dalam hal ini.[12]

Ø  Masalah Delapan Ashnaf
Keterangan lebih rinci tentang delapan ashnaf  yang dimaksud ayat  di atas, secara detail adalah sebagai berikut:
Dua kelompok pertama dan kedua adalah fuqara’ dan masakin. Terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan para ahli mengenai orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Menurut pendapat Ya’qub al-Sakit, al-Qutaybi, Yunus bin Habib dan lain-lain, “miskin lebih buruk keadaannya dibandingkan fakir”. Mereka beralasan, orang fakir masih mempunyai penghasilan meskipun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya; sementara miskin, kata mereka, adalah orang yang sama sekali tidak memiliki penghasilan yang tetap. Pendapat ini disokong oleh Abu Hanifah dan Malik dari kalangan mazhab empat.[13]
Berlainan dengan pendapat di atas, sebagian ulama yang lain di antaranya Imam al-Syafi’i, berpendapat sebaliknya, yakni kaum fuqara’ jauh lebih jelek daripada kaum masakin.[14] Mereka beralasan antara lain:
1.      Allah SWT memulai firman-Nya dengan kata “fuqara”, bukan dengan kata “al-masakin”. Penyebutan kelompok fuqara’ pada urutan pertama, dan lebih dulu dibandigkan masakin, menggambarkan bahwa kaum fuqara’ adalah kelompok yang paling sangat butuh keadaannya.
2.      Ada diriwayatkan bahwa Nabi SAW, dalam do’anya, memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran, tetapi tidak dari kemiskinan
اَللّهُمَّ اَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ
Artinya: “Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikan serta     kelompokkanlah daku ke dalam rombongan orang-orang miskin.”
3.      Firman Allah (اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَاَنتْ لِلْمَسَاكِيْنِ يَعْمَلُوْنَ فِيْ الْبَحْرِ) dalam ayat 80 surat al-Kahfi (18), menunjukkan bahwa orang miskin itu masih memiliki harta benda, dalam hal ini perahu. [15]
4.      Al-Syafi’I menukilkan pendapat kalangan ahli bahasa yang menyatakan bahwa “al-miskin” adalah orang yang masih memiliki sesuatu yang bisa untuk dimakan; sementara fakir adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan.[16]

Kalangan ulama yang mendukung pendapat pertama, yang menyatakan miskin lebih jelek daripada fakir, juga mengemukakan sejumlah argumentasi, yang terpenting di antaranya ialah:
1.      Apa yang dunukilkan dari al-Ashmu’I dan Abi ‘Amr bin al-‘Ala’, bahwa secara etimologi (bahasa), “al-miskin” lebih jelek keadaannya daripada “al-faqir”.[17]
2.      Firman Allah اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ  = atau orang miskin yang sangat fakir (al-Balad/90: 16), sangat membutuhkan untuk mengganjal perutnya dari rasa lapar.[18]
3.      Orang-orang miskin itu adalah mereka yang tinggal di mana saja (gelandangan/ tunawisma), lantaran tidak mempunyai rumah untuk tempat tinggal.[19]

   Muncul pendapat ketiga yang tidak amat mempersoalkan perbedaan antara fuqara’ dan masakin. Menurut pendapat ini, baik fuqara’ maupun masakin sama-sama membutuhkannya; dan karenanya tidak usah terlalu diperdebatkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abu Yusuf (pengikut Abu Hanifah), para pengikut mazhab Maliki dan lain lain.
Kelompok ketiga, adalah al-‘amilun,mereka adalah orang-orang yang oleh pihak yang berwenang diberi kepercayaan untuk menangani pemungutan dan penyaluran zakat, termasuk di dalamnya   para karyawan yang di pekerjakan untuk itu, dalam istilah sekarang semisal BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah) dan lain sebagainya. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah pemberian yang boleh diterima mereka, sebagian menyatakan seperdelapan, ada juga yang menyerahkan pada kelayakan menurut penilaian pihak yang berwenang. Karenanya, ada sebagian ulama yang mengambil pemahaman dari firman Allah “ wa al-‘milina ‘alayha”ini sebagai suatu kewajiban bagi ulil amri untuk membentuk badan atau lembaga yang khusus menangani ihwal zakat dan sedekah.
   Kelompok keempat, adalah al-mu’allafah qulubuhum,yaitu suatu kaum kafir yang terdapat di awal permulaan Islam. Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan “al-mu’allafah qulubuhum”. Sebagian mengatakan, mereka adalah orang-orang kafir yang oleh Nabi dibujuk hatinya supaya menganut agama Islam; merka tidak mau masuk ke dalam Islam kecuali dengan mendapatkan pemberian harta. Pendapat lain menyebutkan, mereka adalah orang-orang yang secara lahiriyah-formal mengaku diri min al-Muslimin, tetapi dalm prakteknya, keislaman mereka belum baik.Ada pula yang mengatakan bahwa yang di maksud adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah memeluk agama Islam; di samping ada pula yang menafsirkan “ al-mu’allafah qulubuhum”dengan pemuka-pemuka kaum musyrikin yang di perlunak hatinya oleh Nabi dengan pemberian. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW, konon pernah memberi Abi Sufyan bin Harb, al-Harts bin Hisam, Sahl bin‘Amr, dan Huwaithib bin ‘Abd al-Uzza masing-masing 100 ekor unta[20] supaya tidak memerangi Nabi dan kaum Muslimin lainnya.
   Para ulama juga berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan apakah saham “al-mu’allafah qulubuhum”itu ketentuan hukumnya masih berlaku hingga sekarang setelah Islam menjadi agama yang kuat? Menurut Umar, al-Hasan dan al-Sya’bi, saham al-mu’allafah qulubuhum dengan sendirinya telah menjadi gugur dengan sebab kejayaan Islam. Inilah pendapat yang masyhur dianut kalangan madzhab Malik dan ahli ra’yi. Bahkan menurut sebagian ulama Hanafiyah, pendapat ini merupakan kesepakatan sahabat. Namun demikian, menurut sekelompok ulama lain, saham al-mu’allafah qulubuhum, masih tetap berlaku hingga sekarang. Sebab, demikian kata mereka, wewenang untuk memberi atau tidak memberikan bagian mereka (al-mu’allafah qulubuhum) sepenuhnya menjadi wewenang penguasa. Berkata al-Zuhri, “Aku tidak mengetahui adanya penghapusan (nashkh) tentang saham al-mu’allafah qulubuhum ini.
   Kelompok lima, ialah untuk memerdekakan budak. Hanya saja, dalam zaman sekarang ini secara formal sistem perbudakan ini sudah tidak ada lagi, dan karenanya maka tidak penting dibahas panjang lebar di sini.
   Kelompok keenam, al-gharimin. Secara lughawi, kata al-gharam  berarti ketetapan atau keharusan (al-luzum), seperti dalam firman Allah:[21]
اِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
Artinya: Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal (QS. al-Furqan/25: 65)

   Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharimin ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan al-gharimin adalah orang-orang yang punya hutang.[22]
   Lahiriah ayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang punya hutang boleh diberi zakat secara mutlak, apakah dia memiliki kesanggupan untuk membayar hutangnya atau tidak, dan apakah hutang itu dilakukan untuk kepentingan dirinya atau orang lain, serta apakah hutang itu digunakan untuk kemaksiatan atau tidak. Akan tetapi para ulama Hanafiah mengkhususkan kata al-gharim untuk sebutan bagاi orang-orang yang tidak memiliki harta minimal satu nishab di luar hutang yang dimilikinya. Alasannya, kata mereka, sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, “wa-aruddaha fi fuqara’ikum”yang pada intinya menunjukkan bahwa sedekah tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali kepada orang-orang fakir.
   Dalam pada itu ulama-ulama Syafi’iyah memberikan batasan bahwa jika hutang orang yang bersangkutan digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri, ia tidak berhak memberikan saham; kecuali jika dia tergolong ke dalam kategori fakir. Tetapi jika hutang yang ia lakukan digunakan untuk kepentingan membela agama, maka ia boleh diberi dari saham al-gharimin, walaupun dia tergolong kaya.[23]
   Sekelompok orang mengatakan bahwa debitur yang menggunakan hutangnya di jalan maksiat,tidak tergolong ke dalam keumuman ayat di atas. Dan karenanya tidak berhak mendapatkan saham zakat, mengingat maksud tujuan dari pendistribusian harta zakat pada ayat di atas ialah ditujukan untuk pertolongan kemanusiaan; sedangkan perbuatan maksiat tidak layak untuk dibantu.
   Kelompok ketujuh, Sabil Allah. Berkata Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i bahwa bagian Sabil Allah yang tersebut dalam ayat di atas, diberikan kepada tentara atau para pejuang yang tidak mendapatkan pembayaran (honorarium) dari departemen yang bersangkutan.[24] Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal, menurut riwayat yang paling shahih, saham Sabil Allah boleh diberikan kepada orang-orang yang mau haji tetapi mereka tidak mempunyai biaya.
   Alasan yang dipegang oleh imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i) ini ialah bahwa pengertian yang mudah dipahami secara langsung dari ayat di atas ialah al-ghazwu (peperangan). Karena pengertian seperti inilah yang banyak dijumpai dalm al-Qur’an . Sedangkan dalil yang digunakan Ahmad bin Hanbal ialah Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu ‘Abbas, yang menyatakan  bahwa suatu ketika seseorang bertanya kepada Rasul Allah SAW, “Sesungguhnya istriku menyampaikan salam kepadamu ya Rasul Allah, dan dia juga meminta aku supaya haji bersama engkau. ”Aku bertanya kepada istriku bahwa aku tidak punya biaya untuk itu. Istriku berkata,”Bolehkah aku haji dengan mengendarai untamu?” Itu alat pertahananku di jalan Allah. ”Lalu nabi bersabda, “Sesungguhnya kamu kalau menghajikan istrimu dengan untamu itu, juga termasuk ke dalam sabil Allah”.
   Jumhur ulama berpendirian bahwa ibadah haji memang dapat dikategorikan ke dalam sabil Allah, tetapi ayat di atas lebih tepat diartikan ke dalam peperangan seperti yang telah di kemukakan.
   Sebagai kalangan ulama Hanafiah menafsirkan kata “Sabil Allah” dengan menuntut ilmu.Bahkan lebih dari itu bisa juga ditafsirkan dengan segenap kegiatan yang mengandung nilai positif seperti untuk mengkafani mayat, membangun jembatan,ta’mir masjid dan lain sebagainya. Alasannya, kata mereka karena  firman Allah “Wa fi sabil Allah”, bersifat umum,mencakup semuanya. Namun demikian para ulama Hanafiah tetap mensyaratkan bahwa pentasarufan zakat ke dalam sabil Allah itu harus tetap memperhatikan unsur kefakiran yang ada pada masyarakat setempat.[25] Sedangkan menurut ulama-ulama syafi’iyah, saham sabil Allah diberikan kepada pasukan tempur yang fakir maupun yang kaya untuk kebajikan seperti yang pernah disebutkan. Bisa juga diberikan untuk sarana dan prasarana lain yang mendukung peperangan itu sendiri seperti untuk membeli senjata dan lain sebagainya.[26]
   Kelompok delapan, ibn al-sabil. Yang dimaksud dengan firman Allah اِبْنُ السَّبِيْلُ   ialah musafir, yaitu orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju tempat yang relatif jauh, tapi kemudian ia mengalami kekeurangan  biaya hidup di perjalanan tersebut. Orang yang seperti ini, berhak menerima pemberian zakat meskipun di kampung halamannya sendiri tergolong orang berada. Namun demikian, Imam Malik memberikan catatan bahwa jika musafir yang bersangkutan ada yang memberikan hutang kepadanya, tidak berhak diberi zakat karena orang yang bersangkutan memeiliki kemampuan untuk membayar hutangnya.
   Berkenaan dengan soal ini, al-Sayis mengemukakan bahwa ibn al-sabil yang layak diberi sedekah ialah orang yang melakukan perjalanannya  bukan untuk kemaksiatan,dan dia tidak akan sampai ke tempat tujuan tanpa bantuan dari sedekah itu.[27] Para ulama yang lain juga mengatakan  bahwa diberinya ibn al-sabil itu  dengan syarat karena ia membutuhkannya di perjalanan, dan kekayaan yang ia punyai di kampung halaman tidak menghalangi kebolehan untuk menerima saham dari zakat.
  
   فَرِيْضَةً مِنَ اللِه, adalah mashdar muakkad ,karena firman Allah “innama al-ssshadaqat li al-fuqara”maknanya ialah Allah telah mewajibkan (pembagian)  sedekah-sedekah itu untuk mereka (delapan ashnaf) yang telah disebutkan secara rinci. Maknanya bahwa ketentuan pembagian sedekah-sedekah itu terbatas kepada kelompok-kelompok yang telah ditentukan adalah merupakan ketetapan yang telah difardhukan oleh Allah kepada hamba-Nya, dan karenanya Allah melarang siapa pun mengubah ketentuan ini.
   وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ     ,yakni Allah SWT, Maha Mengetahui berbagai macam perilaku manusia berikut kadar kebutuhan masing-masing, dan Allah juga Maha Bijaksana dengan segala ketentuan hukum yang telah diterapkannya.      
                
F.            Kesimpulan
Dari penafsiran ayat di atas, maka dapat di tarik kesimpulan dari surat at-Taubah ayat 60 sebagai berikut :
Orang-orang yang berhak menerima zakat yaitu : orang-orang fakir,orang-orang miskin, ‘amilin (panitia zakat ), para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk sabilillah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan. 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi, jil.4, j.10. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan.1974.
Al-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat Al-Ahkam, muqarromah al-tsalitsah
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Fath al-Qadir. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan. 1979.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, Vol.5. Lentera Hati. Jakarta. 2002
Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ahkam1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta.1977



[1] هي الزكاة الواجبة على النقد والانعام والزرع والتجارة
[2] وهم الذين يبعثهم السلطان لجبيتها اوحفظهما
[3] وهم قوم يراد استمالتهم الى الاسلام,اوتثبتهم فيه
[4]اي وللا نفاق فك الرقاب باعانة المكاتبين من الارقاء فى فك رقابهم من الرق
[5] وهم الذين عليهم ديون ركبتهم وتعذر عليهم اداؤها
[6] وسبيل الله هوالطريق الموصل ا لي مر ضا ته ومثوبتههه, والمرادبه الغزاة والمرابطون للجهاد, وروى عن الا مام احمدانه جعل الحج من سبيل الله ويدخل في ذلك جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسوروالحصون وعمارة المساجد ونحو ذلك 
[7] وهوالمنقطع عن بلده فى سفر لايتيسر له فيه  شيئ من ماله ان كان له مال ,فهو غني فى بلده ,فقيرا في سفره ,فيغطي لفقره العارض ما يستعين به على العودة الى بلده
[8] Ahmad Musthofa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, jil.4, j.10. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan. 1974. Halm. 142 أي فرض الله ذلك فريضة  ليس لأحد فيها رأي
[9] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah, Vol.5. Lentera Hati. Jakarta. 2002. Halm. 629-630
[10] Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat Al-Ahkam, muqarromah al-tsalitsah. Halm. 30-31
 لآن الاية أضافت جميع الصدقات اليهم بلام التمليك
[11] قال ابوحنيفةومالك له صرفهاالى شخص واحدمن احدا لا صناف واستحب مالك صرفهاالى اممهم حاجة
[12] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani. Fath al-Qadir. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan. 1979. Halm. 372
[13]  Muhammad Ali Al-Sayis. Op.Cit. halm. 33
وقال الامامان أبو حنيفة ومالك "ان المسكين أسوأ حالا من الفقير"
[14] Ibid. halm. 33
قال الامام الشافعي فى حد الفقير انه من ليس له مال ولا كسب يقع موقعا من حاجته والمسكين هوالذي يقدر على ما يقع موقعا من كفايته الا انه لا يكفيه فالفقير أسوأ حالا من المسكين
[15]قوله تعالى(ام السفينة فكانت لمساكين يعملون فى البحر) فقد وصف با لمسكنة من له سفينة من سفن البحر ولم نجد فى كتاب الله ما يدل على عن الفقير يملك شيئا فكان الفقير اصواء حالا من المسكين
[16] نقل الشافعى وابن الا نبارى وخلائق من اهل اللغة اان المسكين الذى له ماياكل والفقيرالذى لاشىءله
[17] مانقل عن الاصمعى وابى عمر وبن العلا ءويونس وغيرهم من اهل اللغة ان المسسكين اسواحالا من الفقيرر
[18] والصق بطنه به لفرط الجوع
[19] ان المسكين هوالذي يسكن حيث يحل لاجل انه ليس له بيت يسكن فيه وذلك يدل على نهايةالضرروالبؤس
[20] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani. Op.cit. halm. 372-373 ففي صحيح مسلم أن رسول الله أعطى أبا سفيان ابن حرب وصفوان بن أمية والأقرع بن حابس وعيينة بن حصن لكل واحد منهم ما ئة من الابل

[21] اصل الغرم فى اللغة اللزوم ومنه قوله تعالى : (ان عذابها كان غراما)
[22] واما الغارم فهو الذي عليه الدين لانه التزمه وتكفل بادائه.ولم يختلف العلماء ان الغارمين هم المدينون
[23] وقال الشا فعية ان استدان لنفسه لم يعط الا مع الفقر وان استدان لاصلاح ذات البين اعطى من سهم الغارمين ولو كان غنيا
[24] Muhammad Ali Al-Sayis. Op.Cit. halm. 41قال أبو حنيفة ومالك والشافعي رحمهم الله يصرف سهم سبيل الله المذكور في الأية الكريمة الى الغزاة الذين لاحق لهم في الديوان
[25] وفسر بعض الحنفية سبيل الله يطلب العلم , وفسره فى البدائع بجميع القرب فيدخل فيه جميع وجوه الخير مثل تكفينن الموتى وبناء القناطر والحصون وعمارة المساجد لان قوله تعالى: (وفى سبيل الله) عام فى الكل واياما كان فقد اشترط الحنفية للصرف فى سبيل الله الفقر
[26] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani. Op.cit. halm. 372-373
وقال الشافعية يعطي الغازي مع الفقر والغني للخير الذى ذكرناه فى الغارم ويعطى ما يستعين به على الغزومن نفقة الطريق وما يشترى به السلاح والفرس فان اخذ ولم يغز استرجع منه
[27] Muhammad Ali Al-Sayis. Op.Cit. halm. 42
ابن السبيل الذى يعطى من الصدقة هو الذي يريد السفر في غير معصية فيعجز عن بلوغ مقصده الا بمعونة

No comments:

Post a Comment

Recent Post