ZAKAT
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir II (Ahkami)
Dosen Pengampu : Moh. Dhofir, M.Ag
Oleh :
1. Siti
Alfiah : 111386
2. Aisyah : 111397
3. Nailis
Sa’adah : 111413
4. M.
Ali Muslikhin : 111418
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
/ PAI
2012
A.
Pendahuluan
Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilaksanakan oleh seorang muslim sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi
mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat)
dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi
harta simpanan dan niaga), atau saat hasil pertanian telah tiba.
Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk meringankan beban
penderitaan kaum dhu’afa, fakir miskin, atau melipur orang-orang yang sengsara,
dan membantu orangorang yang sangat membutuhkan pertolongan. Di samping itu
pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak timbul ketegangan atau
gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering terjadi di antara orang-orang kaya
dengan orang-orang miskin. Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi:
vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai
kewajiban kepada sesama manusia.
B.
Q.S. At-Taubah (9) ayat 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah/9: 60)
C.
Mufrodat
الّصَّدَقَاتُ
: zakat wajibah berlaku dalam bentuk uang tunai dan binatang ternak, maupun
tanam-tanaman dan perdagangan atau perniagaan. Hanya saja, seperti akan
diuraikan nanti dalam pembahasan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama’ mengenai apa yang dimaksud dengan sedekah pada ayat ini, apakah sedekah
wajib atau termasuk di dalamnya sedekah tathawwu’.[1]
الْفُقَرَاءُ : orang yang berpenghasilan tidak tetap
lagi kecil (tidak mencukupi) penghasilannya.
اْلْمَسَاكِيْنُ :
orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
الْعَامِلِيْنَ : orang atau panitia/ badan yang
mengurusi penerimaan dan penyaluran zakat/ sedekah, terutama yang diangkat oleh
ulil amri (pemerintah)[2]
الْمُؤَلَّفَةَ قُلُوْبُهُمْ : orang-orang yang
diharapkan hatinya condong (melirik) kepada Islam atau berketetapan dalam agama
Islam yang dianutnya.[3]
سَبِيْيلِ اللهِ : jalan/ sarana
yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah dan pahala dari-Nya; dan yang
dimaksud dengannya adalah setiap orang yang melakukan aktivitas (kegiatan) yang
masuk dalam kategori mentaati Allah seperti untuk membiayai peperangan, haji,
dan lain sebagainya.[6]
اِبْنُ الَّسبِيْلِ: musafir yang kekurangan/ kehabisan
bekal di perjalanan yang relatif cukup jauh, yang mengalami kesulitan meskipun di
kampung halamannya dia tergolong orang berada. [7]
فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ : yakni Allah telah menetapkan
ketentuan yang demikian itu sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh diganggu
gugat oleh siapapun.[8]
D.
Munasabah
Munasabah
QS. at-Taubah ayat 60 dengan ayat sebelumnya QS. at-Taubah ayat 59 :
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan
Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami,
Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,"
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. at-Taubah/9: 59)
Ayat
sebelumnya menggambarkan bahwa ada yang keberatan tentang pembagian Nabi SAW
sambil berkata bahwa beliau tidak adil karena membagikan kepada para
penggembala dan lain-lain. Nah, ayat ini membenarkan sikap Nabi itu, sambil
menjelaskan bahwa sesungguhnya zakat-zakat, bukan untuk mereka yang
mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah dibagikan untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat,
mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membaginya, dan diberikan
juga kepada, para mu’allaf, yakni orang-orang yang dibujuk hatinya serta
untuk memerdekakan para hamba sahaya, dan orang-orang yang berhutang
bukan dalam kedurhakaan Allah, dan disalurkan juga pada sabilillah dan orang-orang
yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui siapa yang
wajar menerima dan Dia Maha Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya.
Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu
selama mereka ada.[9]
E.
Pembahasan
Ø
Masalah Penafsiran Kata
Al-Shadaqat
Kata
“innama”-adat hashr-pada ayat di atas menunjukkan
bahwasanya sedekah itu (pembagiannya)
terbatas hanya kepada delapan penerima zakat (mustahiq); tidak boleh
untuk dibagikan kepada selain mereka. Hanya saja, dimasa awal-awal Islam, kata
sedekah itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunah sekaligus. Karenanya,
mudah dimengerti jika dikalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat
dalam menafsirkan kata ”al-shadaqat”
pada ayat di atas. Bahwa yang dimaksud didalamnya adalah ”al-zakat
al-wajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma’) mereka. Namun di
balik itu mereka berlainan persepsi ketika dihadapkan
pada pertanyaan: adakah
dalam ayat tersebut termasuk sedekah mandubah
(sunah)?
Sebagian
mereka memasukkan sedekah sunah dalam ayat tersebut: sementara sebagian yang
lain tidak memasukannya. Orang yang memasukkan sedekah mandubah ke dalam makna
ayat tersebut, melihat bahwa lafal “al-shadaqat” disini bersifat umum,
tidak dibatasi hanya sedekah wajib, yaitu zakat. Karenanya, memasukkan sedekah
kedalamnya merupakan suatu yang sangat wajar. Bahkan, demikian ujar mereka
lebih lanjut, pengertian yang langsung diperoleh dari ayat ini menunjukkan
kepada sedekah-sedekah mandubah.
Adapun mereka yang berpendirian bahwa yang
dimaksud dengan ’’al-shadaqat’’
di sini adalah zakat-zakat wajibah, mereka mendalilkan argumentasinya pada alasan-alasan
berikut:
1.
Alif-lam/al (ال) yang
terdapat pada kata ‘’al-shadaqat’’ itu adalah ‘’al li al-‘ahd
al-dzikri’’, yang di maksudnya adalah sedekah-sedekah wajib (al-shadaqat
al-wajibah) yang Allah tunjukkan pada ayat yang sebelumnya, yakni ayat ‘’ waminhum
ma-yamalizuka fi al-shadaqat’’ ( al-Taubat/9:58). Sedekah-sedekah
yang menyebabkan kaum munafikin mencela Rasulullah SAW. Karena kekecewaan
mereka atas kebijaksanaan alokasi zakat yang semula diduga hanya akan
mementingkan keluarga dekat mereka, tetapi ternyata tidak demikian karena
didasarkan atas aspek keadilan pemerataan, adalah semuanya sedekah-sedekah
wajibah. Di sinilah letak relevansi ayat “innama al-shadaqatu li al-fuqara’
wa al-masakin...” dan seterusnya itu diturunkan, guna memberitahukan kepada
mereka yang mencela Rasulullah SAW, bahwa sedekah-sedekah wajibah itu
mustahiqnya telah ditetapkan sedemikan rupa mensyariatkan zakat itu sendiri,
bukan atas kebijakan Rasul yang didasarkan atas selera kemanusiannya.
2.
Sedekah-sedekah
yang mandubah, pentasarrufan (penyalurannya) boleh-boleh saja diberikan
kepada selain delapan ashnaf di atas, menerut kesepakatan kaum Muslimin,
seperti membangun masjid, pengurusan jenazah, pemberian beasiswa, dan lain-lain
kepentingan umum. Kalau sedekah-sedekah mandubah dimasukkan kedalam “al-shadaqat”
pada ayat di atas, maka sama dengan al-zakawat al-wajibah, tentu
penggunaan sedekah-sedekah mandubah juga tidak boleh disalurkan kepada
selain delapan ashnaf yang akan disebutkan nanti.
3.
Allah SWT
menjadikan atau menempatkan ‘amilin (panitia, administrator atau apapun
sebutannya yang mengelola zakat) sebagai salah satu kelompok yang berhak
mendapatkan bagian (mustahiq) zakat wajibah, sesuatu yang tidak pernah dikenal
keberadaannya dalam rangka pembagian sedekah-sedekah mandubah. Sekiranya
sedekah-sedekah mandubah juga termasuk dalam ayat di atas, maka adalah
suatu kewajiban bagi imam (kepala negara) atau pejabat lain yang berwenang untuk
membentuk ’amilin dan menentukan bagiannya.
4.
Allah SWT
menetapkan “al-shadaqat” di sini dengan menggunakan redaksi “lam
al-tamlik” bagi kelompok delapan yang berhak menerimanya; dan karenanya
perlu diingat, bahwa sedekah-sedekah yang kepemilikannya diberikan kepada
mereka itu hanyalah zakat-zakat wajibah.[10]
Bebarengan
dengan itu pula ulama juga berlainan pendirian dalam pembagian zakat itu harus
diratakan kesemua delapan kelompok di atas; atau boleh diberikan kepada
kelompok-kelompok tertentu saja dari delapan ashnaf penerima zakat di
atas. Menurut sebagian mereka-di antaranya al-Syafi’i- penyerahan zakat harus
diberikan kepada semua kelompok yang ada, tidak boleh hanya diberikan kepada
sebagian kelompok saja. Tetapi menurut pendapat
kedua, di antaranya dipegang oleh Abu Hanifah, Malik dan lain-lain, boleh-boleh
saja pembagian itu diprioritaskan kepada kelompok-kelompok tertentu yang lebih
membutuhkan, sesuai dengan kebijakan ulil amri yang berhak menilai kelompok
mana saja yang lebih berhak.[11]
Kelompok pertama beralasan dengan “adat
hashr” yang digunakan dalam ayat di atas, yaitu menggunakan redaksi “innama”.
Juga mendasarkan diri pada hadits yang diriwayatkan dari Ziyad bin al-Harts
yang mengisahkan bahwa suatu ketika dia berkunjung kepada Rasulullah SAW,
kemudian ada seseorang yang juga menjumpai Rasulullah SAW, seraya orang
tersebut meminta sedekah dari Nabi. Lalu Nabimenjawab, “Sesungguhnya Allah
tidak meridhai ketentuan Nabi dan ketentuan siapa pun tentang sedekah ini,
karena Allah telah menetapkan delapan ashnaf penerima sedekah. Jika
engkau tergolong ke dalam salah satu kelompok dari delapan kelompok itu, pasti
aku akan memberikannya.”
Adapun pendapat kedua, dalam menanggapi
alasan pendukung pendapat pertama menyatakan bahwa pembatasan (al-qashr)
pada ayat di atas hanya menerangkan cara-cara pendistribusian zakat dan kepada
siapa saja zakat itu diberikan; tidak menunjukkan kepada keharusan adanya
pemerataan pembagian. Adapun hadits Ziad bin al-Harts yang dipegangi pendukung
pendapat pertama dinyatakan dha’if (lemah) oleh pendukung pendapat
kedua.
Yang dimaksud
dengan sedekah pada ayat di atas, demikian kata mereka, adalah sedekah dalam
artian yang umum, apakah itu sedekah wajib maupun sedekah sunnah. Dan ini,
masih kata mereka, sejalan denagn hadits shahih yang menyatakan :
أمِرْتُ
اَنْ اَعُدَّ صَدَقَةً مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ وَاَرُدَّهَا اِلَى فُقَرَائِهِمْ
Artinya : Aku diperintah (Allah)
supaya memungut sedekah dari kalangan orang-orang kaya untuk kemudian aku
serahkan keapad orang-orang fakir dari kalangan mereka.
Imam Malik,
pendukung berat pendapat kedua di atas bahkan menyatakan bahwa memasukkan
sedekah umum ke dalam pengertian ayat 60 surat at-Taubah (9) adalah merupakan
suatu kesepakatan (ijma’). Yang dimaksud dengan ijma’ oleh Malik,
demikian kata ‘Abd al-Barr adalah ijma’ sahabat, karena Malik tidak melihat ada
perselisihan pendapat mereka dalam hal ini.[12]
Ø
Masalah Delapan Ashnaf
Keterangan lebih
rinci tentang delapan ashnaf yang
dimaksud ayat di atas, secara detail
adalah sebagai berikut:
Dua kelompok
pertama dan kedua adalah fuqara’ dan masakin. Terdapat perbedaan
pendapat yang cukup tajam di kalangan para ahli mengenai orang-orang fakir dan
orang-orang miskin. Menurut pendapat Ya’qub al-Sakit, al-Qutaybi, Yunus bin
Habib dan lain-lain, “miskin lebih buruk keadaannya dibandingkan fakir”. Mereka
beralasan, orang fakir masih mempunyai penghasilan meskipun tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya; sementara miskin, kata mereka, adalah orang yang sama sekali tidak
memiliki penghasilan yang tetap. Pendapat ini disokong oleh Abu Hanifah dan
Malik dari kalangan mazhab empat.[13]
Berlainan dengan
pendapat di atas, sebagian ulama yang lain di antaranya Imam al-Syafi’i,
berpendapat sebaliknya, yakni kaum fuqara’ jauh lebih jelek daripada kaum
masakin.[14]
Mereka beralasan antara lain:
1. Allah
SWT memulai firman-Nya dengan kata “fuqara”, bukan dengan kata “al-masakin”.
Penyebutan kelompok fuqara’ pada urutan pertama, dan lebih dulu
dibandigkan masakin, menggambarkan bahwa kaum fuqara’ adalah
kelompok yang paling sangat butuh keadaannya.
2. Ada
diriwayatkan bahwa Nabi SAW, dalam do’anya, memohon perlindungan kepada Allah
dari kefakiran, tetapi tidak dari kemiskinan
اَللّهُمَّ
اَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ
Artinya:
“Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikan serta kelompokkanlah daku ke dalam rombongan
orang-orang miskin.”
3. Firman
Allah (اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَاَنتْ لِلْمَسَاكِيْنِ
يَعْمَلُوْنَ فِيْ الْبَحْرِ) dalam ayat 80 surat al-Kahfi (18), menunjukkan bahwa orang
miskin itu masih memiliki harta benda, dalam hal ini perahu. [15]
4. Al-Syafi’I
menukilkan pendapat kalangan ahli bahasa yang menyatakan bahwa “al-miskin”
adalah orang yang masih memiliki sesuatu yang bisa untuk dimakan; sementara
fakir adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan.[16]
Kalangan
ulama yang mendukung pendapat pertama, yang menyatakan miskin lebih jelek
daripada fakir, juga mengemukakan sejumlah argumentasi, yang terpenting di
antaranya ialah:
1. Apa
yang dunukilkan dari al-Ashmu’I dan Abi ‘Amr bin al-‘Ala’, bahwa secara
etimologi (bahasa), “al-miskin” lebih jelek keadaannya daripada “al-faqir”.[17]
2. Firman
Allah اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ = atau orang miskin yang sangat fakir
(al-Balad/90: 16), sangat membutuhkan untuk mengganjal perutnya dari rasa
lapar.[18]
3. Orang-orang
miskin itu adalah mereka yang tinggal di mana saja (gelandangan/ tunawisma),
lantaran tidak mempunyai rumah untuk tempat tinggal.[19]
Muncul pendapat ketiga yang tidak amat
mempersoalkan perbedaan antara fuqara’ dan masakin. Menurut
pendapat ini, baik fuqara’ maupun masakin sama-sama
membutuhkannya; dan karenanya tidak usah terlalu diperdebatkan. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Abu Yusuf (pengikut Abu Hanifah), para pengikut
mazhab Maliki dan lain lain.
Kelompok
ketiga, adalah al-‘amilun,mereka adalah orang-orang yang oleh
pihak yang berwenang diberi kepercayaan untuk menangani pemungutan dan
penyaluran zakat, termasuk di dalamnya para
karyawan yang di pekerjakan untuk itu, dalam istilah sekarang semisal BAZIS
(Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah) dan lain sebagainya. Para ulama berbeda
pendapat mengenai berapa jumlah pemberian yang boleh diterima mereka, sebagian
menyatakan seperdelapan, ada juga yang menyerahkan pada kelayakan menurut
penilaian pihak yang berwenang. Karenanya, ada sebagian ulama yang mengambil
pemahaman dari firman Allah “ wa al-‘milina ‘alayha”ini sebagai suatu
kewajiban bagi ulil amri untuk membentuk badan atau lembaga yang khusus
menangani ihwal zakat dan sedekah.
Kelompok
keempat, adalah al-mu’allafah qulubuhum,yaitu suatu kaum kafir yang
terdapat di awal permulaan Islam. Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan
“al-mu’allafah qulubuhum”. Sebagian mengatakan, mereka adalah orang-orang
kafir yang oleh Nabi dibujuk hatinya supaya menganut agama Islam; merka tidak
mau masuk ke dalam Islam kecuali dengan mendapatkan pemberian harta. Pendapat
lain menyebutkan, mereka adalah orang-orang yang secara lahiriyah-formal
mengaku diri min al-Muslimin, tetapi dalm prakteknya, keislaman mereka
belum baik.Ada pula yang mengatakan bahwa yang di maksud adalah orang-orang
Yahudi dan Nashrani yang telah memeluk agama Islam; di samping ada pula yang
menafsirkan “ al-mu’allafah qulubuhum”dengan pemuka-pemuka kaum
musyrikin yang di perlunak hatinya oleh Nabi dengan pemberian. Diriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad SAW, konon pernah memberi Abi Sufyan bin Harb, al-Harts bin
Hisam, Sahl bin‘Amr, dan Huwaithib bin ‘Abd al-Uzza masing-masing 100 ekor unta[20]
supaya tidak memerangi Nabi dan kaum Muslimin lainnya.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam
menghadapi persoalan apakah saham “al-mu’allafah qulubuhum”itu ketentuan
hukumnya masih berlaku hingga sekarang setelah Islam menjadi agama yang kuat?
Menurut Umar, al-Hasan dan al-Sya’bi, saham al-mu’allafah qulubuhum dengan
sendirinya telah menjadi gugur dengan sebab kejayaan Islam. Inilah pendapat
yang masyhur dianut kalangan madzhab Malik dan ahli ra’yi. Bahkan
menurut sebagian ulama Hanafiyah, pendapat ini merupakan kesepakatan sahabat.
Namun demikian, menurut sekelompok ulama lain, saham al-mu’allafah qulubuhum,
masih tetap berlaku hingga sekarang. Sebab, demikian kata mereka, wewenang
untuk memberi atau tidak memberikan bagian mereka (al-mu’allafah qulubuhum)
sepenuhnya menjadi wewenang penguasa. Berkata al-Zuhri, “Aku tidak mengetahui
adanya penghapusan (nashkh) tentang saham al-mu’allafah qulubuhum
ini.
Kelompok lima, ialah untuk memerdekakan
budak. Hanya saja, dalam zaman sekarang ini secara formal sistem perbudakan ini
sudah tidak ada lagi, dan karenanya maka tidak penting dibahas panjang lebar di
sini.
Kelompok keenam, al-gharimin. Secara
lughawi, kata al-gharam berarti
ketetapan atau keharusan (al-luzum), seperti dalam firman Allah:[21]
اِنَّ
عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
Artinya:
Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal (QS. al-Furqan/25:
65)
Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharimin
ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. Para ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan al-gharimin adalah orang-orang yang
punya hutang.[22]
Lahiriah ayat ini mengisyaratkan bahwa orang
yang punya hutang boleh diberi zakat secara mutlak, apakah dia memiliki
kesanggupan untuk membayar hutangnya atau tidak, dan apakah hutang itu
dilakukan untuk kepentingan dirinya atau orang lain, serta apakah hutang itu
digunakan untuk kemaksiatan atau tidak. Akan tetapi para ulama Hanafiah
mengkhususkan kata al-gharim untuk sebutan bagاi
orang-orang yang tidak memiliki harta minimal satu nishab di luar hutang
yang dimilikinya. Alasannya, kata mereka, sabda Rasulullah SAW yang menyatakan,
“wa-aruddaha fi fuqara’ikum”yang pada intinya menunjukkan bahwa sedekah
tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali kepada orang-orang fakir.
Dalam pada itu ulama-ulama Syafi’iyah
memberikan batasan bahwa jika hutang orang yang bersangkutan digunakan untuk
kepentingan dirinya sendiri, ia tidak berhak memberikan saham; kecuali jika dia
tergolong ke dalam kategori fakir. Tetapi jika hutang yang ia lakukan digunakan
untuk kepentingan membela agama, maka ia boleh diberi dari saham al-gharimin,
walaupun dia tergolong kaya.[23]
Sekelompok orang mengatakan bahwa debitur
yang menggunakan hutangnya di jalan maksiat,tidak tergolong ke dalam keumuman
ayat di atas. Dan karenanya tidak berhak mendapatkan saham zakat, mengingat
maksud tujuan dari pendistribusian harta zakat pada ayat di atas ialah
ditujukan untuk pertolongan kemanusiaan; sedangkan perbuatan maksiat tidak
layak untuk dibantu.
Kelompok ketujuh, Sabil Allah. Berkata
Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i bahwa bagian Sabil Allah yang tersebut
dalam ayat di atas, diberikan kepada tentara atau para pejuang yang tidak
mendapatkan pembayaran (honorarium) dari departemen yang bersangkutan.[24]
Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal, menurut riwayat yang paling shahih, saham Sabil
Allah boleh diberikan kepada orang-orang yang mau haji tetapi mereka tidak
mempunyai biaya.
Alasan yang dipegang oleh imam yang tiga (Abu
Hanifah, Malik dan al-Syafi’i) ini ialah bahwa pengertian yang mudah dipahami
secara langsung dari ayat di atas ialah al-ghazwu (peperangan). Karena
pengertian seperti inilah yang banyak dijumpai dalm al-Qur’an . Sedangkan dalil
yang digunakan Ahmad bin Hanbal ialah Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari
Ibnu ‘Abbas, yang menyatakan bahwa suatu
ketika seseorang bertanya kepada Rasul Allah SAW, “Sesungguhnya istriku menyampaikan
salam kepadamu ya Rasul Allah, dan dia juga meminta aku supaya haji bersama
engkau. ”Aku bertanya kepada istriku bahwa aku tidak punya biaya untuk itu.
Istriku berkata,”Bolehkah aku haji dengan mengendarai untamu?” Itu alat
pertahananku di jalan Allah. ”Lalu nabi bersabda, “Sesungguhnya kamu kalau
menghajikan istrimu dengan untamu itu, juga termasuk ke dalam sabil Allah”.
Jumhur ulama berpendirian bahwa ibadah haji
memang dapat dikategorikan ke dalam sabil Allah, tetapi ayat di atas lebih
tepat diartikan ke dalam peperangan seperti yang telah di kemukakan.
Sebagai kalangan ulama Hanafiah menafsirkan
kata “Sabil Allah” dengan menuntut ilmu.Bahkan lebih dari itu bisa juga ditafsirkan
dengan segenap kegiatan yang mengandung nilai positif seperti untuk mengkafani
mayat, membangun jembatan,ta’mir masjid dan lain sebagainya. Alasannya,
kata mereka karena firman Allah “Wa
fi sabil Allah”, bersifat umum,mencakup semuanya. Namun demikian para ulama
Hanafiah tetap mensyaratkan bahwa pentasarufan zakat ke dalam sabil Allah
itu harus tetap memperhatikan unsur kefakiran yang ada pada masyarakat setempat.[25]
Sedangkan menurut ulama-ulama syafi’iyah, saham sabil Allah diberikan kepada
pasukan tempur yang fakir maupun yang kaya untuk kebajikan seperti yang pernah
disebutkan. Bisa juga diberikan untuk sarana dan prasarana lain yang mendukung
peperangan itu sendiri seperti untuk membeli senjata dan lain sebagainya.[26]
Kelompok delapan, ibn al-sabil. Yang
dimaksud dengan firman Allah اِبْنُ السَّبِيْلُ
ialah musafir, yaitu orang yang meninggalkan
kampung halaman dan menuju tempat yang relatif jauh, tapi kemudian ia mengalami
kekeurangan biaya hidup di perjalanan
tersebut. Orang yang seperti ini, berhak menerima pemberian zakat meskipun di
kampung halamannya sendiri tergolong orang berada. Namun demikian, Imam Malik
memberikan catatan bahwa jika musafir yang bersangkutan ada yang memberikan
hutang kepadanya, tidak berhak diberi zakat karena orang yang bersangkutan
memeiliki kemampuan untuk membayar hutangnya.
Berkenaan dengan soal ini, al-Sayis mengemukakan
bahwa ibn al-sabil yang layak diberi sedekah ialah orang yang melakukan
perjalanannya bukan untuk
kemaksiatan,dan dia tidak akan sampai ke tempat tujuan tanpa bantuan dari
sedekah itu.[27]
Para ulama yang lain juga mengatakan
bahwa diberinya ibn al-sabil itu
dengan syarat karena ia membutuhkannya di perjalanan, dan kekayaan yang
ia punyai di kampung halaman tidak menghalangi kebolehan untuk menerima saham
dari zakat.
فَرِيْضَةً
مِنَ اللِه, adalah
mashdar muakkad ,karena firman Allah “innama al-ssshadaqat li
al-fuqara”maknanya ialah Allah telah mewajibkan (pembagian) sedekah-sedekah
itu untuk mereka (delapan ashnaf) yang telah disebutkan secara rinci. Maknanya
bahwa ketentuan pembagian sedekah-sedekah itu terbatas kepada kelompok-kelompok
yang telah ditentukan adalah merupakan ketetapan yang telah difardhukan oleh
Allah kepada hamba-Nya, dan karenanya Allah melarang siapa pun mengubah
ketentuan ini.
وَاللهُ
عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ,yakni Allah SWT, Maha Mengetahui berbagai
macam perilaku manusia berikut kadar kebutuhan masing-masing, dan Allah juga
Maha Bijaksana dengan segala ketentuan hukum yang telah diterapkannya.
F.
Kesimpulan
Dari
penafsiran ayat di atas, maka dapat di tarik kesimpulan dari surat at-Taubah
ayat 60 sebagai berikut :
Orang-orang
yang berhak menerima zakat yaitu : orang-orang fakir,orang-orang miskin,
‘amilin (panitia zakat ), para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk memerdekakan
budak, orang-orang yang berhutang, untuk sabilillah, dan untuk orang-orang yang
sedang dalam perjalanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi, jil.4, j.10. Dar al-Fikr.
Beirut-Lubnan.1974.
Al-Sayis,
Muhammad Ali. Tafsir Ayat Al-Ahkam, muqarromah al-tsalitsah
Al-Syaukani,
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Fath al-Qadir. Dar al-Fikr.
Beirut-Lubnan. 1979.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, Vol.5. Lentera Hati. Jakarta. 2002
Suma,
Muhammad Amin. Tafsir Ahkam1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta.1977
[4]اي وللا نفاق فك الرقاب باعانة المكاتبين
من الارقاء فى فك رقابهم من الرق
[6] وسبيل الله
هوالطريق الموصل ا لي مر ضا ته ومثوبتههه, والمرادبه الغزاة والمرابطون للجهاد,
وروى عن الا مام احمدانه جعل الحج من سبيل الله ويدخل في ذلك جميع وجوه الخير من
تكفين الموتى وبناء الجسوروالحصون وعمارة المساجد ونحو ذلك
[7] وهوالمنقطع عن بلده
فى سفر لايتيسر له فيه شيئ من ماله ان كان
له مال ,فهو غني فى بلده ,فقيرا في سفره ,فيغطي لفقره العارض ما يستعين به على
العودة الى بلده
[8] Ahmad Musthofa
al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, jil.4, j.10. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan.
1974. Halm. 142 أي فرض الله
ذلك فريضة ليس لأحد فيها رأي
[9] M. Quraish Shihab. Tafsir
al-Mishbah, Vol.5. Lentera Hati. Jakarta. 2002. Halm. 629-630
لآن الاية
أضافت جميع الصدقات اليهم بلام التمليك
[12] Muhammad ibn Ali ibn
Muhammad al-Syaukani. Fath al-Qadir. Dar al-Fikr. Beirut-Lubnan. 1979. Halm.
372
[13] Muhammad
Ali Al-Sayis. Op.Cit.
halm. 33
وقال الامامان أبو
حنيفة ومالك "ان المسكين أسوأ حالا من الفقير"
قال الامام الشافعي فى
حد الفقير انه من ليس له مال ولا كسب يقع موقعا من حاجته والمسكين هوالذي يقدر على
ما يقع موقعا من كفايته الا انه لا يكفيه فالفقير أسوأ حالا من المسكين
[15]قوله تعالى(ام السفينة فكانت لمساكين
يعملون فى البحر) فقد وصف با لمسكنة من له سفينة من سفن البحر ولم نجد فى كتاب
الله ما يدل على عن الفقير يملك شيئا فكان الفقير اصواء حالا من المسكين
[20] Muhammad ibn Ali ibn
Muhammad al-Syaukani. Op.cit. halm. 372-373 ففي صحيح مسلم أن رسول
الله أعطى أبا سفيان ابن حرب وصفوان بن أمية والأقرع بن حابس وعيينة بن حصن لكل
واحد منهم ما ئة من الابل
[22] واما الغارم فهو
الذي عليه الدين لانه التزمه وتكفل بادائه.ولم يختلف العلماء ان الغارمين هم
المدينون
[23] وقال الشا فعية ان
استدان لنفسه لم يعط الا مع الفقر وان استدان لاصلاح ذات البين اعطى من سهم
الغارمين ولو كان غنيا
[24] Muhammad Ali
Al-Sayis. Op.Cit.
halm. 41قال
أبو حنيفة ومالك والشافعي رحمهم الله يصرف سهم سبيل الله المذكور في الأية الكريمة
الى الغزاة الذين لاحق لهم في الديوان
[25] وفسر بعض الحنفية
سبيل الله يطلب العلم , وفسره فى البدائع بجميع القرب فيدخل فيه جميع وجوه الخير
مثل تكفينن الموتى وبناء القناطر والحصون وعمارة المساجد لان قوله تعالى: (وفى
سبيل الله) عام فى الكل واياما كان فقد اشترط الحنفية للصرف فى سبيل الله الفقر
وقال الشافعية يعطي
الغازي مع الفقر والغني للخير الذى ذكرناه فى الغارم ويعطى ما يستعين به على الغزومن
نفقة الطريق وما يشترى به السلاح والفرس فان اخذ ولم يغز استرجع منه
ابن السبيل الذى يعطى
من الصدقة هو الذي يريد السفر في غير معصية فيعجز عن بلوغ مقصده الا بمعونة
No comments:
Post a Comment