KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN
Disusun Guna
Memenuhi : Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu: Muh. Dhofir M.Ag
Disusun oleh:
EDI CAHYONO : 111442
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
TAHUN 2012
A. PENDAHULUAN
Kalau berbicara tentang permasalahan kesetaraan gender dari
dulu sampai sekarang jika pembahasan tersebut diusung, pasti selalu menjadi
trending topik yang menarik untuk
dibahas. Bahkan mungkin tidak akan ada habisnya jika dibicarakan karena
dikaitkan dengan dua kubu pastinya, antara pro dan kontra.
Salah satu cabang permasalahan gender yaitu soal kepemimpinan
perempuan. Sehingga muncul pertanyaan, diantaranya: Apakah tonggak
kepemimpinan itu selalu digenggam oleh kaum laki-laki saja?
C. MUFRODAT
“Para
lelaki adalah qawwamun atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat.
Memelihara diri ketika tidak ditempat, oleh karena Allah telah memelihara
mereka. Wanita-wanita yang kamu khawartikan nusyuznya, maka nasehatilah mereka
dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan dan pukullah mereka. Lalu jika mereka telah mentaati kamu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”.
D.
ASBABU AN-NUZUL
Asbabun-nuzul
ayat ini dijelaskan dalam hadits Nabi diantaranya:
Pada
suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW untuk mengadukan
masalah, yaitu dia ditampar mukanya oleh sang suami. Rasuilullah SAW bersabda:
“Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW
itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 yang dengan tegas memberikan
ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang
melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar
keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap
suaminya yang telah menampar mukanya.(HR.Ibnu Abi Hatim dari Hasan)
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita yang
mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Dia pada suatu ketika ditampar
mukanya oleh suaminya, yang suaminya itu adalah salah seorang sahabat Anshar.
Maksud kedatangan wanita itu kepada Rasulullah SAW untuk menuntut balas
terhadap perbuatan suaminya itu. Rasulullah SAW pada ketika itu mengabulkan
permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah SWT. Sehubungan
dengan peristiwa itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan tentang
hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun
pula ayat ke-114 dari surat Thaha yang Artinya “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca
al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.....
Sebagai teguran terhadap Rasulullah SAW. Beliau
dilarang memutus suatu perkara sebelum ayat al-Qur’an diturunkan, sebagaimana
yang beliau lakukan memberi hukum qishash terhadap suami atas gugatan istri
tersebut.(HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Juraij dan Suddi).
Pada suatu waktu datanglah seorang lelaki dari kalangan sahabat Ashar menghadap
Rasulullah SAW bersama-sama istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah Saw:
“Wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul mukaku sehingga terdapat bekas
luka”. Rasulullah SAW bersaba: “Suamimu tidak hak untuk melakukan demikian. Dia
harus diqishash”. Sehubungan dengan keputusan Rasulullah SAW tersebut Allah SWT
menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami
berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian hukum qishash yang dijatuhkan
Rasulullah SAW itu gugur, tidak jadi dilaksanakan. (HR. Ibnu Marduwaih dan
Ali bin Abi Thalib)[1]
E.
PEMBAHASAN HUKUM AYAT AN-NISA’
Dalam ayat 34 surat an-Nisa’ kata “ Qawwamuuna”
dapat diartikan pelindung. Laki-laki lah yang menjadi “pelindung”. menurut
terjemahan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an yaitu “pemimpin”
(menurut terjemahan Departemen Agama RI) ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan.
Sesuai dengan sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.[2]
Jadi, sangat jelas bahwa kepantasan seorang
laki-laki sebagai pemimpin bukan karena mereka mulia di sisi Allah, tapi karena
kesanggupannya dalam mengemban tanggung jawab yang besar, yang di sini
dimaksudkan adalah pemegang kepemimpinan rumah tangga.
Dalam ayat tersebut juga, mewajibkan laki-laki
memberikan perlindungan kepada perempuan, pembelaan, dan nafkah kepadanya.
Al-Qurthubi berkomentar dalam kitab “Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an”, bahwa kaum laki-laki pemimpin atas kaum
perempuan, maksudnya di sini adalah mereka kaum laki-laki berkewajiban memberi
nafkah kepada kaum perempuan, membela, dan melindungi mereka.[3]
Sebenarnya
ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin
di dalam masyarakat. Muhammad Abduh dalam al-Manar-nya tidak memutlakkan
kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat di atas tidak
menggunakan kata “Bima fadhdholahum ‘alaihinna” atau “bi tafdhiilihim
‘alaihinna” (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki)
tetapi menggunakan kata “fadhdholallohu
‘alaa ba’dhin” (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka
di atas sebagian yang lain).[4]
Jadi,
kepemimpinan bagi keluarga dalam aturan dan syari’at Islam adalah kepemimpinan
sebagai pemeliharaan dan pengurusan, bukan berbentuk kepemimpinan pengawasan
dan kekuasaan. Tidak dengan pertimbangan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala semata
yang menjadi pembeda seorang pemimpin atau pengatur. Tetapi pertimbangannya
ditentukan oleh kecukupan kapasitas yang dimiliki seorang pemimpin untuk
mengemban kesukaran-kesukaran tanggung jawab ini.
Apakah
tonggak kepemimpinan itu selalu digenggam oleh kaum laki-laki saja?
Dari beberapa hadis di atas tentang kepemimpinan dalam
keluarga, dan tidak memungkinkanya seorang wanita menjadi pemimpin dalam
kehidupa laki-laki. Dalam hadis di atas menunjukan wanita harus menaati
perintah laki-laki. Dan dalam kepemimpinan seorang perempuan sendiri sebagai
pemimpin dari anak-anaknya yaitu pemimpin (ibu) rumah tangga.
Sebagian
orang mengatakan bahwa kepemimpinan yang dikhususkan Allah Ta’ala untuk para
laki-laki, dan menundukkan perempuan kepadanya adalah mengandung sebuah
penyelewengan hak perempuan. Seperti mereka mengatakan hilangnya persamaan
tersebut antara laki-laki dengan perempuan dalam ajaran hukum Islam. Mereka
mungkin mengambil redaksi dari ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang
membedaka antara yang satu dengan yang lain hanyalah derajat ketakwaannya.
Dalam
pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah
senjata iblis untuk menyesatkan manusia. pada abad ke-5 masehi diselenggarakan
suatu konsili yang memperbincangkan apakan wanita mempunyai ruh atau tidak. Dan ternya dalam pembuktian itu wanita tidak memiliki
Ruh, ini menunjukan bahwa wanita itu hanya melayani laki-laki.[5]
Hal ini
hampir menjadi petunjuk atas kelebihan laki-laki dari pada perempuan dari segi
kepribadian dengan tanpa melihat unsur-unsur khusus.
Perlu di garis bawahi kepemimpinan yang dianugrahkan
Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan.
Bukankah”musyawaroh” merupakan anjuran al-Qur’an dalam menyelsaikan setiap
persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi dalam keluarga.
Ayat-ayat
yang lalu melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh karunia lebih
banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan diberikan kepada ahli
waris yang berhak menerimanya, menurut bagiannya masing-masing.
Ayat ini
menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum perempuan, dancara-cara
menyelesaikan perselisihan suami istri.
Ada 3
alasan larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan;
1. An-Nisa’/4:34
“ar-rijalu qowwamuna ala nan-nisa’.” (laki-laki adalah pemimpin bagi
kalangan perempuan)
2.
Hadits yang menyatakan bahwa perempuan kurang
cerdas di bandingkan dari laki-laki, begitu juga dalam sikap keberagamaannya;
3.
Hadis yang menyatakan’ “la yufliba qaumun
walau amrabm imra’atan”, (tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan ).
Ketiga
dalil ini saling kuat kaitanya dalam memperkuat argumentasi ketidak bolehan perempuan dalam memegang
kepemimpinan. Dengan alasan lain, baik ayat maupun hadis tersebut, mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki, dan menegaskan keharusan
perempuan mengakui kepemimpinan ini. Salah seorang mufassir, masa lalu
al-Qurthubi dalam menafsikan surath an-Nisa’ ayat 34 cenderung melihat
aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, sebagai penguasa, hakim dan juga
tentara. Pendapat al-Qurthubi ini di ikuti para mufassir lainya, namun
dikalangkan mufassir kontemporer melihat ayat tersebut tidak harus dipahami
seperti itu, apalagi ayat tersebut berkaitan dengan rumah tangga.
Hal ini
mengingat kata “al-rija” dalam ayat “arrijalu qawwamuna ala an-Nisa”,
bukan bererti laki-laki secara umum, tetapi suami secara konsenderan lanjutan
ayat tersebut adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta
untuk istri-istri mereka. Seandainya kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum,
tentu konsederanya tidak begitu. Kemudian lanjutan ayat tersebut secara jelas
berbicara tentang persoalan para istri dan rumah tangga. Ayat 34 sura al-Nisa’
secara jelas menyajikan tentang pembagian kerja antara suami dan istri, dan
jika di kaitkan lagi dengan al-Baqarah/2:228, “wa li al-rijal alaibinna
darajab”, (bagi lelaki (suami) terhadap mereka (perempuan) satu derajat (lebih
tinngi), pengertian ayat tersebut (al-Nisa’/4;34) semakin jelas dikaitkan
dengan urusan kerumahtanggaan.
Adapun
mengenai hadis, “Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan meeka
kepada perempuan” tidak di gariskan secara umum. Hadis ini berkaitan dengan
seperti suatu peristiwa, seperti di riwayatkan al-Bukhori (w.256 H), Ahmad
(w.241), al-Tirmidzi (w.279 H) dan an- Nasai (w.303 H) melalui Abu bakrah:
“ketika Rasulullah Saw. Mengetahui bahwa masyarakat persia mengangkat putri
kisra sebagai pengusaha mereka, beliau bersada: Tidak akan beruntung suatu
kaum yang menyerahkan urusan mereka kepadaperempuan”.
Jadi
hadis ini dikaitkan dengan masyarakat persia pada waktu itu dan bukan berlaku umum dalam segala urusan. Dalam
konstk melihat hadis ini dan menafsirkan ayat 34 surah an-Nisa’ dapat dilihat
mengenai adanya hak-hak politik (kepemimpinan) kaum perempuan.
Secara
umum kaum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek
kehidupan seperti suruhan “untuk berbuat yang ma’ruf dan menjauhkan yang
munkar”. Bahkan, sebuah hadis sangat mendukung pendapat ini: “man lam
yabtamma bi amril muslimin falaisa minbum”,(barang siapa yang tidak
memprhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan
mereka). Pengertian hadis ini dapat menyempit dan meluas di sebabkan karena
latar belakang pendidikan seseorang (laki-laki/perempuan) termasuk di dalamnya
bidang politik.
Suatu
fakta sejarah bahwa Aisyah, istri Rasulullah Saw. Pernah memimpin pasukan dalam
perang unta (656 M) melawan Aisyah Ali bin Abi Thalib. Keterlibatan Aisyah
dalam peperangan itu menunjukkan partisipasi kaum muslimah dalam bidang politik
praktis sekalipun.
F.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf jika ada
kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan makalah ini.
G.
KESIMPULAN
Dari
beberapa hadis di atas tentang kepemimpinan dalam keluarga, dan tidak
memungkinkanya seorang wanita menjadi pemimpin dalam kehidupa laki-laki (Rumah
Tangga). Dalam hadis di atas
menunjukan wanita harus menaati perintah laki-laki. Dan dalam kepemimpinan
seorang perempuan sendiri sebagai pemimpin dari anak-anaknya yaitu pemimpin
(ibu) rumah tangga.
Dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang membedaka
antara yang satu dengan yang lain (laki-laki dan
perempuan) hanyalah derajat ketakwaannya.
H. Daftar Pustaka
1.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun-Nuzul Studi
Pendalaman Al-Qur’an (Al-Fatihah-An-Nisa’), Jakarta, Rajawali, 1989
2.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
3. Al-Uwayyid,
Muhammad Rasyid, Pembebasan Perempuan,
terj, Ghazali Mukri, Yogyakarta, ‘Izzan
Pustaka, 2000
4. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-misbah, ciputat,
lentera hati, 2000
5. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran : Tafsir
Maudhu’I atas pelbagi persoalan umat, Bandung, Anggota IKAPI, 1996
[1]
Mahali, A. Mudjab, Asbabun-Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an
(Al-Fatihah-An-Nisa’), Jakarta,
Rajawali, 1989, hlm. 238-239
[2]
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2002, hlm.124
[3]
Al-Uwayyid, Muhammad Rasyid, Pembebasan
Perempuan, terj, Ghazali Mukri, Yogyakarta,
‘Izzan Pustaka, 2002, hlm.118
[4] Dzuhayatin,
Op. Cit, hlm.125
No comments:
Post a Comment