Latest News

Monday, January 14, 2019

kepemimpinan perempuan dalam perspektif islam



KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Disusun Guna Memenuhi : Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu: Muh. Dhofir M.Ag

Disusun oleh:
EDI CAHYONO       : 111442
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
TAHUN 2012



A.    PENDAHULUAN   
Kalau berbicara tentang permasalahan kesetaraan gender dari dulu sampai sekarang jika pembahasan tersebut diusung, pasti selalu menjadi trending topik  yang menarik untuk dibahas. Bahkan mungkin tidak akan ada habisnya jika dibicarakan karena dikaitkan dengan dua kubu pastinya, antara pro dan kontra.
Salah satu cabang permasalahan gender yaitu soal kepemimpinan perempuan. Sehingga muncul pertanyaan, diantaranya: Apakah tonggak kepemimpinan itu selalu digenggam oleh kaum laki-laki saja?

C.    MUFRODAT                          
Para lelaki adalah qawwamun atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat. Memelihara diri ketika tidak ditempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawartikan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan dan pukullah mereka. Lalu jika mereka telah mentaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
D.    ASBABU AN-NUZUL
Asbabun-nuzul ayat ini dijelaskan dalam hadits Nabi diantaranya:
            Pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah SAW untuk mengadukan masalah, yaitu dia ditampar mukanya oleh sang suami. Rasuilullah SAW bersabda: “Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishash terhadap suaminya yang telah menampar mukanya.(HR.Ibnu Abi Hatim dari Hasan)
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Dia pada suatu ketika ditampar mukanya oleh suaminya, yang suaminya itu adalah salah seorang sahabat Anshar. Maksud kedatangan wanita itu kepada Rasulullah SAW untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Rasulullah SAW pada ketika itu mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah SWT. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun pula ayat ke-114 dari surat Thaha yang Artinya “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.....
Sebagai teguran terhadap Rasulullah SAW. Beliau dilarang memutus suatu perkara sebelum ayat al-Qur’an diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan memberi hukum qishash terhadap suami atas gugatan istri tersebut.(HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Juraij dan Suddi).
Pada suatu waktu datanglah seorang  lelaki dari kalangan sahabat Ashar menghadap Rasulullah SAW bersama-sama istrinya. Istrinya mengadu kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul mukaku sehingga terdapat bekas luka”. Rasulullah SAW bersaba: “Suamimu tidak hak untuk melakukan demikian. Dia harus diqishash”. Sehubungan dengan keputusan Rasulullah SAW tersebut Allah SWT menurunkan ayat ke-34 dan 35 sebagai ketegasan hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian hukum qishash yang dijatuhkan Rasulullah SAW itu gugur, tidak jadi dilaksanakan. (HR. Ibnu Marduwaih dan Ali bin Abi Thalib)[1]

E.     PEMBAHASAN HUKUM  AYAT AN-NISA’
Dalam ayat 34 surat an-Nisa’ kata “ Qawwamuuna” dapat diartikan pelindung. Laki-laki lah yang menjadi “pelindung”. menurut terjemahan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an yaitu “pemimpin” (menurut terjemahan Departemen Agama RI) ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.[2]
Jadi, sangat jelas bahwa kepantasan seorang laki-laki sebagai pemimpin bukan karena mereka mulia di sisi Allah, tapi karena kesanggupannya dalam mengemban tanggung jawab yang besar, yang di sini dimaksudkan adalah pemegang kepemimpinan rumah tangga.
Dalam ayat tersebut juga, mewajibkan laki-laki memberikan perlindungan kepada perempuan, pembelaan, dan nafkah kepadanya. Al-Qurthubi berkomentar dalam kitab “Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an”,  bahwa kaum laki-laki pemimpin atas kaum perempuan, maksudnya di sini adalah mereka kaum laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada kaum perempuan, membela, dan melindungi mereka.[3]
Sebenarnya ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Muhammad Abduh dalam al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat di atas tidak menggunakan kata “Bima fadhdholahum ‘alaihinna” atau “bi tafdhiilihim ‘alaihinna” (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki) tetapi menggunakan kata  “fadhdholallohu ‘alaa ba’dhin” (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain).[4]
Jadi, kepemimpinan bagi keluarga dalam aturan dan syari’at Islam adalah kepemimpinan sebagai pemeliharaan dan pengurusan, bukan berbentuk kepemimpinan pengawasan dan kekuasaan. Tidak dengan pertimbangan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala semata yang menjadi pembeda seorang pemimpin atau pengatur. Tetapi pertimbangannya ditentukan oleh kecukupan kapasitas yang dimiliki seorang pemimpin untuk mengemban kesukaran-kesukaran tanggung jawab ini.
Apakah tonggak kepemimpinan itu selalu digenggam oleh kaum laki-laki saja?
Dari beberapa hadis di atas tentang kepemimpinan dalam keluarga, dan tidak memungkinkanya seorang wanita menjadi pemimpin dalam kehidupa laki-laki. Dalam hadis di atas menunjukan wanita harus menaati perintah laki-laki. Dan dalam kepemimpinan seorang perempuan sendiri sebagai pemimpin dari anak-anaknya yaitu pemimpin (ibu) rumah tangga.
Sebagian orang mengatakan bahwa kepemimpinan yang dikhususkan Allah Ta’ala untuk para laki-laki, dan menundukkan perempuan kepadanya adalah mengandung sebuah penyelewengan hak perempuan. Seperti mereka mengatakan hilangnya persamaan tersebut antara laki-laki dengan perempuan dalam ajaran hukum Islam. Mereka mungkin mengambil redaksi dari ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang membedaka antara yang satu dengan yang lain hanyalah derajat ketakwaannya.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. pada abad ke-5 masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakan wanita mempunyai ruh atau tidak. Dan ternya dalam pembuktian itu wanita tidak memiliki Ruh, ini menunjukan bahwa wanita itu hanya melayani laki-laki.[5]
Hal ini hampir menjadi petunjuk atas kelebihan laki-laki dari pada perempuan dari segi kepribadian dengan tanpa melihat unsur-unsur khusus.
Perlu di garis bawahi kepemimpinan yang dianugrahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah”musyawaroh” merupakan anjuran al-Qur’an dalam menyelsaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi dalam keluarga.
Ayat-ayat yang lalu melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh karunia lebih banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, menurut bagiannya masing-masing.
Ayat ini menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum perempuan, dancara-cara menyelesaikan perselisihan suami istri.
Ada 3 alasan larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan;
1.      An-Nisa’/4:34 “ar-rijalu qowwamuna ala nan-nisa’.” (laki-laki adalah pemimpin bagi kalangan perempuan)
2.      Hadits yang menyatakan bahwa perempuan kurang cerdas di bandingkan dari laki-laki, begitu juga dalam sikap keberagamaannya;
3.      Hadis yang menyatakan’ “la yufliba qaumun walau amrabm imra’atan”, (tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan ).
Ketiga dalil ini saling kuat kaitanya dalam memperkuat argumentasi  ketidak bolehan perempuan dalam memegang kepemimpinan. Dengan alasan lain, baik ayat maupun hadis tersebut, mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki, dan menegaskan keharusan perempuan mengakui kepemimpinan ini. Salah seorang mufassir, masa lalu al-Qurthubi dalam menafsikan surath an-Nisa’ ayat 34 cenderung melihat aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, sebagai penguasa, hakim dan juga tentara. Pendapat al-Qurthubi ini di ikuti para mufassir lainya, namun dikalangkan mufassir kontemporer melihat ayat tersebut tidak harus dipahami seperti itu, apalagi ayat tersebut berkaitan dengan rumah tangga.
Hal ini mengingat kata “al-rija” dalam ayat “arrijalu qawwamuna ala an-Nisa”, bukan bererti laki-laki secara umum, tetapi suami secara konsenderan lanjutan ayat tersebut adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, tentu konsederanya tidak begitu. Kemudian lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang persoalan para istri dan rumah tangga. Ayat 34 sura al-Nisa’ secara jelas menyajikan tentang pembagian kerja antara suami dan istri, dan jika di kaitkan lagi dengan al-Baqarah/2:228, “wa li al-rijal alaibinna darajab”, (bagi lelaki (suami) terhadap mereka (perempuan) satu derajat (lebih tinngi), pengertian ayat tersebut (al-Nisa’/4;34) semakin jelas dikaitkan dengan urusan kerumahtanggaan.
Adapun mengenai hadis, “Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan meeka kepada perempuan” tidak di gariskan secara umum. Hadis ini berkaitan dengan seperti suatu peristiwa, seperti di riwayatkan al-Bukhori (w.256 H), Ahmad (w.241), al-Tirmidzi (w.279 H) dan an- Nasai (w.303 H) melalui Abu bakrah: “ketika Rasulullah Saw. Mengetahui bahwa masyarakat persia mengangkat putri kisra sebagai pengusaha mereka, beliau bersada: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepadaperempuan”.
Jadi hadis ini dikaitkan dengan masyarakat persia pada waktu itu dan bukan berlaku umum dalam segala urusan. Dalam konstk melihat hadis ini dan menafsirkan ayat 34 surah an-Nisa’ dapat dilihat mengenai adanya hak-hak politik (kepemimpinan) kaum perempuan.
Secara umum kaum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan seperti suruhan “untuk berbuat yang ma’ruf dan menjauhkan yang munkar”. Bahkan, sebuah hadis sangat mendukung pendapat ini: “man lam yabtamma bi amril muslimin falaisa minbum”,(barang siapa yang tidak memprhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka). Pengertian hadis ini dapat menyempit dan meluas di sebabkan karena latar belakang pendidikan seseorang (laki-laki/perempuan) termasuk di dalamnya bidang politik.
Suatu fakta sejarah bahwa Aisyah, istri Rasulullah Saw. Pernah memimpin pasukan dalam perang unta (656 M) melawan Aisyah Ali bin Abi Thalib. Keterlibatan Aisyah dalam peperangan itu menunjukkan partisipasi kaum muslimah dalam bidang politik praktis sekalipun.

F.     PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan makalah ini.
G.    KESIMPULAN
Dari beberapa hadis di atas tentang kepemimpinan dalam keluarga, dan tidak memungkinkanya seorang wanita menjadi pemimpin dalam kehidupa laki-laki (Rumah Tangga). Dalam hadis di atas menunjukan wanita harus menaati perintah laki-laki. Dan dalam kepemimpinan seorang perempuan sendiri sebagai pemimpin dari anak-anaknya yaitu pemimpin (ibu) rumah tangga.
Dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang membedaka antara yang satu dengan yang lain (laki-laki dan perempuan) hanyalah derajat ketakwaannya. 

H. Daftar Pustaka
1.      Mahali, A. Mudjab, Asbabun-Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an (Al-Fatihah-An-Nisa’), Jakarta,  Rajawali, 1989
2.      Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam  Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
3.      Al-Uwayyid, Muhammad Rasyid,  Pembebasan Perempuan, terj, Ghazali Mukri, Yogyakarta,  ‘Izzan Pustaka, 2000
4.      Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-misbah, ciputat, lentera hati, 2000
5.      Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu’I atas pelbagi persoalan umat, Bandung, Anggota IKAPI, 1996































[1] Mahali, A. Mudjab, Asbabun-Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an (Al-Fatihah-An-Nisa’), Jakarta,  Rajawali, 1989, hlm. 238-239
[2] Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam  Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.124
[3] Al-Uwayyid, Muhammad Rasyid,  Pembebasan Perempuan, terj, Ghazali Mukri, Yogyakarta,  ‘Izzan Pustaka, 2002,  hlm.118
[4] Dzuhayatin, Op. Cit, hlm.125
[5] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-misbah, ciputat, lentera hati, 2000

No comments:

Post a Comment

Recent Post