Latest News

Saturday, January 19, 2019

Kenakalan Anak di Lingkungan Sekolahnya



Kenakalan Anak di Lingkungan Sekolah

PERLU ada piket guru untuk mengawasi muridnya selama jam istirahat. Demikian salah satu pandangan yang mengemuka dalam siaran interaktif Radio Global Kinijani FM 96,5, Minggu, 8 Juli lalu. Kenakalan anak yang terekspresikan di lingkungan sekolah ditengarai kian meningkat intensitasnya. Banyak faktor penyebabnya. Yang terasa masih kurang adalah gereget untuk mencegah dan menangani masalah mendasar di bidang pendidikan itu secara holistik dan komprehensif dalam aksi nyata.
Kenakalan anak SD yang terekspresikan di lingkungan sekolah bak fenomena gunung es. Tidak semua kejadian  terungkapkan secara terbuka. Hal ini mirip kasus yang membelit tubuh IPDN.
Jika kejadiannya telah menimbulkan korban jiwa, barulah masyarakat awam tersentak, orangtua murid mengelus dada, para guru bertambah kesibukannya dalam upaya menemukan langkah pencegahan agar kasus serupa tak terjadi atau terulang di sekolahnya.
Yang meninggal bukan hanya anak polos yang sering dijadikan bulan-bulanan kenakalan temannya, tetapi bisa juga anak nakal yang memang suka berkelahi. Kenakalan bukan hanya diekspresikan dengan saling banting dalam perkelahian, tetapi juga berupa perilaku yang mengganggu. Perilaku mengganggu juga terungkap dalam siaran interaktif Radio Global FM 96,5 Minggu, 8 Juli lalu. Ada anak yang memotong tempat sabuk di celana temannya, ada anak yang suka memalak uang saku temannya.
Jika ditelusuri lebih jauh sebab-akibatnya, kita bisa menemukan latar belakang kenakalan yang terekspresikan dalam perilaku yang membahayakan nyawa itu. Beragam latar belakang kenakalan, di antaranya menyeret banyak aspek kehidupan yang terlibat yang pencegahan dan penanganannya perlu dilakukan secara holistik dan komprehensif.

Kasus Nengah
Nengah, anak laki-laki berusia tujuh tahun, anak kedua dari tiga anak pasangan suami-istri yang keduanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia disekolahkan di SD sekitar 300 meter jaraknya dari kamar kontrakan orangtuanya. Lahir dan berkembang di lingkungan keluarga yang bagaikan ''ayam kais pagi makan pagi kais petang makan petang'', Nengah tumbuh menjadi anak pendiam. Dibandingkan teman-teman sebayanya ia tampak kalem dan polos. Ia sering diganggu teman-temannya. Semula, ia dipaksa temannya untuk menyerahkan uang di sakunya seribu rupiah. Ketika suatu hari Nengah tidak menyerahkan uangnya, karena tidak diberi uang saku tiap hari oleh orangtuanya, tas sekolahnya direbut, dibuka dengan paksa, dan isinya dicampakkan bertebaran di tanah. Bahkan, Nengah pernah pulang sekolah dengan bibir berdarah akibat dijotos temannya.
Orangtuanya turun tangan. Jika ada waktu senggang ia mengantar dan menjemput Nengah sampai di pintu sekolah. Ia pun melaporkan kejadian yang menimpa anaknya itu kepada guru kelas. Dengan suara enteng guru kelasnya berkomentar, ''itu biasa terjadi pada anak-anak''.
Perlakuan beringas temannya terhadap Nengah tak kunjung mereda. Ayahnya melaporkannya kembali kepada guru kelas yang sama. Komentar guru kelasnya tetap sama. Tidak puas dengan jawaban itu, ayah Nengah ingin melaporkannya kepada kepala sekolah. Akan tetapi, sang guru kelas melarangnya. Bahkan dengan berbagai alasan dan cara ia menghalang-halangi ketika ayah Nengah akan menghadap kepala sekolah.
Ayah Nengah tergerak untuk menelusuri, siapa temannya yang suka jahil terhadap anaknya. Ia menemukan fakta bahwa mereka yang suka mengganggu Nengah adalah teman-temannya yang berasal dari sebuah panti asuhan.
Mengingat perlakuan yang tidak enak terus berlanjut, ayah Nengah memindahkan anaknya ke SD lain. Mungkin, standar kualitas di SD lama dan SD barunya tidak sama, atau karena penyebab lainnya, pada pergantian tahun ajaran, di kelasnya Nengah menjadi satu-satunya murid yang tidak naik kelas. Dalam tahun ajaran mendatang Nengah mengulang di kelas I di SD barunya itu. Satu-satunya kenyataan yang menghibur hati orangtua Nengah sekarang ini adalah, anaknya tidak lagi dijahili teman-temannya sebagaimana yang dialami di SD lamanya.

Patut Dicermati
Kasus Nengah mengungkap serangkaian fakta sekunder di balik fakta primernya, yang patut dicermati. Ia adalah anak pendiam, polos dan kalem. Lingkungan dan kehidupan keluarga besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter anak. Di lingkungan keluarga yang melarat hasilnya sering ekstrem. Ada anaknya yang kelewat pendiam, ada pula yang terlalu nakal. Anak pendiam menjadi bulan-bulanan teman-temannya yang nakal, adalah kenyataan lain yang sering terjadi.
Berlanjutnya tindak gangguan terhadap Nengah di lingkungan sekolahnya, memberi kesan seolah-olah tak pernah ada upaya untuk mencegahnya. Perilaku jahil di kalangan anak seusia murid SD adalah biasa terjadi. Namun, perilaku jahil anak-anak tertentu yang berlangsung terus-menerus terhadap anak-anak tertentu pula, memberi isyarat adanya masalah serius yang perlu dicermati secara serius pula.
Komunikasi antara orangtua murid dan kepala sekolah yang terpenggal, apa pun penyebabnya, perlu juga dicermati. Sementara itu, peran dan kegiatan Komite Sekolah atau apa pun namanya, yang diharapkan bisa menjembatani komunikasi yang terputus semacam itu, masih terasa asing di telinga sementara orangtua murid. Sikap feodal yang mewarnai pengelolaan pendidikan di tingkat SD, masih sering dipergoki terjadi di kalangan sebagian guru.
Kenakalan anak di dalam kelas bisa saja dipicu dan dipacu persoalan teknis. Tidak seimbangnya jumlah murid dengan kapasitas kelas, misalnya, bisa membuka peluang terjadinya perilaku nakal karena tiap anak tidak mendapat perhatian guru secara proporsional.
Di luar kelas, kenakalan di lingkungan sekolah sering terjadi pada jam-jam istirahat. Walaupun mungkin sudah ada pengelola SD yang menerapkannya, tidak berlebihan kiranya wacana yang berkembang lewat Global FM 96,5 tentang perlunya guru piket untuk mengawasi kegiatan muridnya selama jam istirahat. Dalam konteks ini kiranya pantas diterapkan prinsip ''bagaimana mengawasi tanpa kelihatan mengawasi, dan bagaimana tidak mengawasi tetapi mengawasi''.
Dalam kasus Nengah terungkap anak-anak jahil itu berasal dari panti asuhan tertentu. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Di tengah upaya keras para pengelola panti asuhan mendidik anak asuhnya, tentu masih ada kekurangannya. Dalam kesehariannya, anak-anak itu diasuh oleh bukan orangtua kandungnya. Bagaimana pun sentuhan kasih sayang orangtua kandung berbeda dengan sentuhan kasih sayang orang yang tidak mengandungnya. Kadar kasih sayang dalam pola asuh keseharian ini turut mempengaruhi perkembangan karakter anak, apakah akan menjadi anak nakal atau anak pendiam, kelak menjadi orang yang introver, atau orang yang ekstrover.

Peran Pemda
Dalam era otonomi daerah sekarang ini tanggung jawab terbesar pengelolaan bidang pendidikan di SD berada di pundak bupati/wali kota bersama kepala dinas yang mengelola bidang pendidikan. Apakah kasus semacam yang dialami Nengah tadi sudah didengar bupati/wali kota atau kepada dinas pendidikan setempat? Jangankan sampai di meja kepala daerah, kepala sekolah saja belum tentu menerima laporan kasus kenakalan yang terjadi di lingkungan sekolahnya, akibat proses komunikasi yang terpotong di tengah lorong. Mekanisme pencatatan, pelaporan dan pengawasan, sebagai bagian penting proses manajemen dalam pengelolaan pendidikan dasar perlu dikaji ulang. Tanpa tertatanya mekanisme ini mustahil penanganan masalah pendidikan berlangsung secara holistik dan komprehensif. Tanpa penanganan seperti itu di tiap kabupatan/kota, mustahil bangsa ini mampu mengatasi salah satu persoalan pendidikan yang mendasar yakni kenakalan di kalangan anak seusia murid SD.
Tes bakat Penulis, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran ''Tokoh''.
akah cara yang tepat untuk mengenali bakat anak secara akurat? Bisakah kecerdasan anak dideteksi sejak anak usia dini? Bagaimanakah mengarahkan anak agar anak bisa maksimal terhadap apa yang digemarinya? Adakah alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi potensi dan kemampuan yang dimilikinya sehingga kita akan bisa memilihkan sekolah yang cocok untuk anak? Apakah betul test sidik jari atau finger print bisa dijadikan rujukan untuk pemecahan permasalahan di atas?
 Setiap orang tua pasti menginginkan dan mengharapkan anaknya menjadi anak yang berhasil di bidangnya dan sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Sehingga untuk mewujudkan cita-cita anak, banyak para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit. Ada juga orang tua yang memberikan les privat ataupun paket kursus kepada anaknya sesuai dengan bidang yang disukainya. Namun kadang hasilnya pun belum maksimal. Entah itu anak cepat bosan atau anak tidak bisa fokus terhadap minatya.
Di sisi lain ada juga beberapa orang tua yang bingung anaknya mau diarahkan kemana. Karena orang tua tidak mempunyai konsep yang jelas kepada anaknya sehingga yang terjadi adalah anak tidak bisa menemukan potensi dan bakat yang dimilikinya. Anak-anak hanya tumbuh sebagai anak-anak yang biasa dan standar saja tanpa memiliki kelebihan yang bisa ditonjolkan. Padahal anak bisa saja memiliki bakat terpendam yang luar biasa.
Bakat dan potensi anak seharusnya sudah mulai digali sejak anak usia dini. Dengan mengetahui bakat lebih dini maka kita akan bisa mengarahkan anak sesuai dengan bakat terpendam yang dimilikinya. Semakin awal potensi anak diketahui maka dengan mudah kita akan bisa memberikan pola pengasuhan dan pola pendidikan yang tepat sesuai dengan kepribadiannya. Lalu bagaimana caranya agar bakat dan potensi anak bisa cepat diketahui?
Era moderen menjadikan segalanya lebih cepat diakses dan lebih mudah untuk dieksplore lebih dalam lagi. Terutama penjelajahan terhadap sesuatu yang masih terpendam, salah satunya adalah bakat dan potensi anak. Betul, memang saat ini sudah ada metode dan alat yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki anak.
Bagi orang tua yang masih bingung dalam menentukan bakat anak sejak anak usia dini, maka metode deteksi sidik jari bisa digunakan untuk mencari potensi yang dimiliki anak. Salah satu contoh alat yang digunakan untuk mendeteksi kecerdasan anak yaitu metode STIFFIN. Stiffin adalah tes mesin kecerdasan dengan cara mendeteksi sidik jari.
Beberapa alasan yang menjadikan tes sidik jari bisa digunakan untuk mengenali potensi dan bakat anak;
1.Sidik jari tiap anak berbeda sehingga tidak ada orang yang memiliki sidik jari yang sama dan sidik jaripun tidak bisa dipalsukan.
2.Sidik jari bersifat permanen sehingga pola sidik jari tidak akan berubah dari sejak lahir hingga meninggal dunia.
3.Sidik jari mudah diklasifikasikan dan di ukur. Mudah dilihat dengan mata telanjang dan bisa diintegrasikan dengan teknologi dan disimpan dalam database.
Selain itu sidik jari memiliki hubungan dengan potensi Genetik yang dimiliki masing-masing individu.
Beberapa alasannya adalah sebagai berikut;
1.Pola sidik jari mulai muncul pada waktu bayi dalam kandungan (usia 13 minggu), polanya seiring dengan pola pembentukan otak.
2.Pola sidik jari ditentukan oleh kromosom yang ditentukan bukan oleh faktor lingkungan melainkan DNA (genetik).
3.Sistim syaraf jari-jari tangan erat hubungannya denga sistim otak artinya dengan mengetahui sistim syaraf jari dapat diketahui sistim syaraf fungsi-fungsi bagian otak.
4.Potensi genetik, khususnya bakat, stimulasi kecerdasan, dan karakter kepribadian berkaitan erat dengan sistim syaraf pada fungsi-fungsi bagian otak.
Kemajuan zaman bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia salah satunya adalah teknologi mengenali kemampuan bakat dan potensi yang masih terpendam. Maka dari itu tidak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui bakat dan potensi yang dimiliki anak. Bagi orang tua yang masih bingung dengan bakat yang dimiliki anak maka tes sidik jari bisa digunakan agar pola pengasuhan bisa tepat dan terarah. Tidak ada salahnya untuk mencoba salah satu analisa sidik jari kepada anak kita dalam rangka untuk mengetahui potensi yang dimiliki anak.

Kenakalan Anak di Lingkungan Sekolahnya

PERLU ada piket guru untuk mengawasi muridnya selama jam istirahat. Demikian salah satu pandangan yang mengemuka dalam siaran interaktif Radio Global Kinijani FM 96,5, Minggu, 8 Juli lalu. Kenakalan anak yang terekspresikan di lingkungan sekolah ditengarai kian meningkat intensitasnya. Banyak faktor penyebabnya. Yang terasa masih kurang adalah gereget untuk mencegah dan menangani masalah mendasar di bidang pendidikan itu secara holistik dan komprehensif dalam aksi nyata.
Kenakalan anak SD yang terekspresikan di lingkungan sekolah bak fenomena gunung es. Tidak semua kejadian  terungkapkan secara terbuka. Hal ini mirip kasus yang membelit tubuh IPDN.
Jika kejadiannya telah menimbulkan korban jiwa, barulah masyarakat awam tersentak, orangtua murid mengelus dada, para guru bertambah kesibukannya dalam upaya menemukan langkah pencegahan agar kasus serupa tak terjadi atau terulang di sekolahnya.
Yang meninggal bukan hanya anak polos yang sering dijadikan bulan-bulanan kenakalan temannya, tetapi bisa juga anak nakal yang memang suka berkelahi. Kenakalan bukan hanya diekspresikan dengan saling banting dalam perkelahian, tetapi juga berupa perilaku yang mengganggu. Perilaku mengganggu juga terungkap dalam siaran interaktif Radio Global FM 96,5 Minggu, 8 Juli lalu. Ada anak yang memotong tempat sabuk di celana temannya, ada anak yang suka memalak uang saku temannya.
Jika ditelusuri lebih jauh sebab-akibatnya, kita bisa menemukan latar belakang kenakalan yang terekspresikan dalam perilaku yang membahayakan nyawa itu. Beragam latar belakang kenakalan, di antaranya menyeret banyak aspek kehidupan yang terlibat yang pencegahan dan penanganannya perlu dilakukan secara holistik dan komprehensif.

Kasus Nengah
Nengah, anak laki-laki berusia tujuh tahun, anak kedua dari tiga anak pasangan suami-istri yang keduanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia disekolahkan di SD sekitar 300 meter jaraknya dari kamar kontrakan orangtuanya. Lahir dan berkembang di lingkungan keluarga yang bagaikan ''ayam kais pagi makan pagi kais petang makan petang'', Nengah tumbuh menjadi anak pendiam. Dibandingkan teman-teman sebayanya ia tampak kalem dan polos. Ia sering diganggu teman-temannya. Semula, ia dipaksa temannya untuk menyerahkan uang di sakunya seribu rupiah. Ketika suatu hari Nengah tidak menyerahkan uangnya, karena tidak diberi uang saku tiap hari oleh orangtuanya, tas sekolahnya direbut, dibuka dengan paksa, dan isinya dicampakkan bertebaran di tanah. Bahkan, Nengah pernah pulang sekolah dengan bibir berdarah akibat dijotos temannya.
Orangtuanya turun tangan. Jika ada waktu senggang ia mengantar dan menjemput Nengah sampai di pintu sekolah. Ia pun melaporkan kejadian yang menimpa anaknya itu kepada guru kelas. Dengan suara enteng guru kelasnya berkomentar, ''itu biasa terjadi pada anak-anak''.
Perlakuan beringas temannya terhadap Nengah tak kunjung mereda. Ayahnya melaporkannya kembali kepada guru kelas yang sama. Komentar guru kelasnya tetap sama. Tidak puas dengan jawaban itu, ayah Nengah ingin melaporkannya kepada kepala sekolah. Akan tetapi, sang guru kelas melarangnya. Bahkan dengan berbagai alasan dan cara ia menghalang-halangi ketika ayah Nengah akan menghadap kepala sekolah.
Ayah Nengah tergerak untuk menelusuri, siapa temannya yang suka jahil terhadap anaknya. Ia menemukan fakta bahwa mereka yang suka mengganggu Nengah adalah teman-temannya yang berasal dari sebuah panti asuhan.
Mengingat perlakuan yang tidak enak terus berlanjut, ayah Nengah memindahkan anaknya ke SD lain. Mungkin, standar kualitas di SD lama dan SD barunya tidak sama, atau karena penyebab lainnya, pada pergantian tahun ajaran, di kelasnya Nengah menjadi satu-satunya murid yang tidak naik kelas. Dalam tahun ajaran mendatang Nengah mengulang di kelas I di SD barunya itu. Satu-satunya kenyataan yang menghibur hati orangtua Nengah sekarang ini adalah, anaknya tidak lagi dijahili teman-temannya sebagaimana yang dialami di SD lamanya

Patut Dicermati
Kasus Nengah mengungkap serangkaian fakta sekunder di balik fakta primernya, yang patut dicermati. Ia adalah anak pendiam, polos dan kalem. Lingkungan dan kehidupan keluarga besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter anak. Di lingkungan keluarga yang melarat hasilnya sering ekstrem. Ada anaknya yang kelewat pendiam, ada pula yang terlalu nakal. Anak pendiam menjadi bulan-bulanan teman-temannya yang nakal, adalah kenyataan lain yang sering terjadi.
Berlanjutnya tindak gangguan terhadap Nengah di lingkungan sekolahnya, memberi kesan seolah-olah tak pernah ada upaya untuk mencegahnya. Perilaku jahil di kalangan anak seusia murid SD adalah biasa terjadi. Namun, perilaku jahil anak-anak tertentu yang berlangsung terus-menerus terhadap anak-anak tertentu pula, memberi isyarat adanya masalah serius yang perlu dicermati secara serius pula.
Komunikasi antara orangtua murid dan kepala sekolah yang terpenggal, apa pun penyebabnya, perlu juga dicermati. Sementara itu, peran dan kegiatan Komite Sekolah atau apa pun namanya, yang diharapkan bisa menjembatani komunikasi yang terputus semacam itu, masih terasa asing di telinga sementara orangtua murid. Sikap feodal yang mewarnai pengelolaan pendidikan di tingkat SD, masih sering dipergoki terjadi di kalangan sebagian guru.
Kenakalan anak di dalam kelas bisa saja dipicu dan dipacu persoalan teknis. Tidak seimbangnya jumlah murid dengan kapasitas kelas, misalnya, bisa membuka peluang terjadinya perilaku nakal karena tiap anak tidak mendapat perhatian guru secara proporsional.
Di luar kelas, kenakalan di lingkungan sekolah sering terjadi pada jam-jam istirahat. Walaupun mungkin sudah ada pengelola SD yang menerapkannya, tidak berlebihan kiranya wacana yang berkembang lewat Global FM 96,5 tentang perlunya guru piket untuk mengawasi kegiatan muridnya selama jam istirahat. Dalam konteks ini kiranya pantas diterapkan prinsip ''bagaimana mengawasi tanpa kelihatan mengawasi, dan bagaimana tidak mengawasi tetapi mengawasi''.
Dalam kasus Nengah terungkap anak-anak jahil itu berasal dari panti asuhan tertentu. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Di tengah upaya keras para pengelola panti asuhan mendidik anak asuhnya, tentu masih ada kekurangannya. Dalam kesehariannya, anak-anak itu diasuh oleh bukan orangtua kandungnya. Bagaimana pun sentuhan kasih sayang orangtua kandung berbeda dengan sentuhan kasih sayang orang yang tidak mengandungnya. Kadar kasih sayang dalam pola asuh keseharian ini turut mempengaruhi perkembangan karakter anak, apakah akan menjadi anak nakal atau anak pendiam, kelak menjadi orang yang introver, atau orang yang ekstrover.
Peran Pemda
Dalam era otonomi daerah sekarang ini tanggung jawab terbesar pengelolaan bidang pendidikan di SD berada di pundak bupati/wali kota bersama kepala dinas yang mengelola bidang pendidikan. Apakah kasus semacam yang dialami Nengah tadi sudah didengar bupati/wali kota atau kepada dinas pendidikan setempat? Jangankan sampai di meja kepala daerah, kepala sekolah saja belum tentu menerima laporan kasus kenakalan yang terjadi di lingkungan sekolahnya, akibat proses komunikasi yang terpotong di tengah lorong. Mekanisme pencatatan, pelaporan dan pengawasan, sebagai bagian penting proses manajemen dalam pengelolaan pendidikan dasar perlu dikaji ulang. Tanpa tertatanya mekanisme ini mustahil penanganan masalah pendidikan berlangsung secara holistik dan komprehensif. Tanpa penanganan seperti itu di tiap kabupatan/kota, mustahil bangsa ini mampu mengatasi salah satu persoalan pendidikan yang mendasar yakni kenakalan di kalangan anak seusia murid SD.
Tes bakat Penulis, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran ''Tokoh''.
akah cara yang tepat untuk mengenali bakat anak secara akurat? Bisakah kecerdasan anak dideteksi sejak anak usia dini? Bagaimanakah mengarahkan anak agar anak bisa maksimal terhadap apa yang digemarinya? Adakah alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi potensi dan kemampuan yang dimilikinya sehingga kita akan bisa memilihkan sekolah yang cocok untuk anak? Apakah betul test sidik jari atau finger print bisa dijadikan rujukan untuk pemecahan permasalahan di atas?
 Setiap orang tua pasti menginginkan dan mengharapkan anaknya menjadi anak yang berhasil di bidangnya dan sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Sehingga untuk mewujudkan cita-cita anak, banyak para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit. Ada juga orang tua yang memberikan les privat ataupun paket kursus kepada anaknya sesuai dengan bidang yang disukainya. Namun kadang hasilnya pun belum maksimal. Entah itu anak cepat bosan atau anak tidak bisa fokus terhadap minatya.
Di sisi lain ada juga beberapa orang tua yang bingung anaknya mau diarahkan kemana. Karena orang tua tidak mempunyai konsep yang jelas kepada anaknya sehingga yang terjadi adalah anak tidak bisa menemukan potensi dan bakat yang dimilikinya. Anak-anak hanya tumbuh sebagai anak-anak yang biasa dan standar saja tanpa memiliki kelebihan yang bisa ditonjolkan. Padahal anak bisa saja memiliki bakat terpendam yang luar biasa.
Bakat dan potensi anak seharusnya sudah mulai digali sejak anak usia dini. Dengan mengetahui bakat lebih dini maka kita akan bisa mengarahkan anak sesuai dengan bakat terpendam yang dimilikinya. Semakin awal potensi anak diketahui maka dengan mudah kita akan bisa memberikan pola pengasuhan dan pola pendidikan yang tepat sesuai dengan kepribadiannya. Lalu bagaimana caranya agar bakat dan potensi anak bisa cepat diketahui?
Era moderen menjadikan segalanya lebih cepat diakses dan lebih mudah untuk dieksplore lebih dalam lagi. Terutama penjelajahan terhadap sesuatu yang masih terpendam, salah satunya adalah bakat dan potensi anak. Betul, memang saat ini sudah ada metode dan alat yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki anak.
Bagi orang tua yang masih bingung dalam menentukan bakat anak sejak anak usia dini, maka metode deteksi sidik jari bisa digunakan untuk mencari potensi yang dimiliki anak. Salah satu contoh alat yang digunakan untuk mendeteksi kecerdasan anak yaitu metode STIFFIN. Stiffin adalah tes mesin kecerdasan dengan cara mendeteksi sidik jari.
Beberapa alasan yang menjadikan tes sidik jari bisa digunakan untuk mengenali potensi dan bakat anak;
1.Sidik jari tiap anak berbeda sehingga tidak ada orang yang memiliki sidik jari yang sama dan sidik jaripun tidak bisa dipalsukan.
2.Sidik jari bersifat permanen sehingga pola sidik jari tidak akan berubah dari sejak lahir hingga meninggal dunia.
3.Sidik jari mudah diklasifikasikan dan di ukur. Mudah dilihat dengan mata telanjang dan bisa diintegrasikan dengan teknologi dan disimpan dalam database.
Selain itu sidik jari memiliki hubungan dengan potensi Genetik yang dimiliki masing-masing individu.
Beberapa alasannya adalah sebagai berikut;
1.Pola sidik jari mulai muncul pada waktu bayi dalam kandungan (usia 13 minggu), polanya seiring dengan pola pembentukan otak.
2.Pola sidik jari ditentukan oleh kromosom yang ditentukan bukan oleh faktor lingkungan melainkan DNA (genetik).
3.Sistim syaraf jari-jari tangan erat hubungannya denga sistim otak artinya dengan mengetahui sistim syaraf jari dapat diketahui sistim syaraf fungsi-fungsi bagian otak.
4.Potensi genetik, khususnya bakat, stimulasi kecerdasan, dan karakter kepribadian berkaitan erat dengan sistim syaraf pada fungsi-fungsi bagian otak.
Kemajuan zaman bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia salah satunya adalah teknologi mengenali kemampuan bakat dan potensi yang masih terpendam. Maka dari itu tidak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui bakat dan potensi yang dimiliki anak. Bagi orang tua yang masih bingung dengan bakat yang dimiliki anak maka tes sidik jari bisa digunakan agar pola pengasuhan bisa tepat dan terarah. Tidak ada salahnya untuk mencoba salah satu analisa sidik jari kepada anak kita dalam rangka untuk mengetahui potensi yang dimiliki anak.

No comments:

Post a Comment

Recent Post